Argumentasi Rasional dan Primordial atas Eksistensi Tuhan dalam Surah al-An’am

 Argumentasi Rasional dan Primordial atas Eksistensi Tuhan dalam Surah al-An’am

oleh: Mohammad Aunul Abid
Peminat Kajian Keislaman, Mahasiswa Al Azhar Cairo

nidaulquran.id-Di zaman teknologi dan pengetahuan ini kita dihadapkan oleh dua hal kontradiktif. Di satu sisi syiar agama mudah disebarluaskan hanya dengan sentuhan jemari, di sisi lain ancaman pemikiran-pemikiran yang menyimpang sangat mudah untuk menggerogoti keimanan masyarakat di zaman ini.

Berbeda dengan masyarakat dua hingga tiga dekade lalu yang mudah menerima akidah dan substansi agama dengan cukup doktrin naqli saja, masyarakat di zaman ini lebih memiliki daya kritis hingga mengharuskan agamawan disamping menguasai argumentasi doktrinal, juga harus menguasai argumentasi rasional dan primordial yang bisa diterima seluruh kalangan.

Disadari atau tidak Al-Qur’an mengajarkan kita berbagai metode untuk menampik argumentasi ateisme. Termasuk dua diantaranya adalah argumentasi rasional dan primordial. Hal ini bisa kita telusuri dalam salah satu surah Al-Qur’an lebih spesifiknya surah Al-An’am.

Surah Al-An’am sendiri masyhur di kalangan para Ulama sebagai surah yang membahas secara lengkap tentang argumentasi ketuhanan. Bahkan  Al-Qurthuby di dalam tafsirnya (al-jami’ li ahkam al-qur’an) mengatakan:

قَالَ الْعُلَمَاءُ: هَذِهِ السُّورَةُ أصل ِفي مُحَاجَّةِ الْمُشْرِكِينَ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْمُبْتَدِعِينَ وَمَنْ كَذَّبَ بِالْبَعْثِ وَالنُّشُورِ وَهَذَا يَقْتَضِي إِنْزَالَهَا جُمْلَةً وَاحِدَةً لِأَنَّهَا فِي مَعْنًى وَاحِدٍ مِنَ الْحُجَّةِ.

Artinya: “Para ulama mengatakan: Surah ini (Al-An’am) merupakan pondasi dalam menampik argumentasi kaum musyrik dan ahli bid’ah (tentang ketuhanan) dan juga merupakan pondasi untuk mengcounter argumentasi menentang hari kebangkitan (filsuf materialis). Hal inilah yang mendasari bahwa surat ini (dengan 165 ayat) turun secara langsung (tanpa berangsur-angsur)”

(Al-Jami’ li ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi, Juz 6, Hal 383, Maktabah Turots)

Argumentasi rasional    

Salah satu argumentasi rasional yang dihimpun oleh surah al-An’am adalah cosmological argument atau oleh para teolog muslim biasa dikenal dengan istilah dalil al-ijad. Hal ini diungkapkan surah al-An’am ayat pertama yang berbunyi:

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَجَعَلَ ٱلظُّلُمَٰتِ وَٱلنُّورَ ۖ ثُمَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُون

Artinya: Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka. (Q.S. Al-An’aam [6]:1)

Dari ayat pertama ketika kita mencoba berkontemplasi maka kita akan menemukan konklusi bahwa segala hal yang baru tercipta (alam semesta dan seisinya) berkonsekuensi memiliki pencipta. Konsekuensi ini wajib terjadi karena tidak mungkin alam raya dengan segala keindahannya diciptakan oleh ketiadaan tanpa adanya hukum kausalitas. Sebagaimana diungkapkan oleh para teolog:

فاقد الشيء لا يعطيه”” atau juga biasa diredaksikan oleh para filsuf Yunani “Nemo dat quod non habet

Artinya: “segala hal yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin bisa memberikannya”

Penjelasan dari ungkapan di atas adalah: Bagaimana mungkin ketiadaan menciptakan eksistensial (keberadaan) jika ketiadaan sendiri tidak memiliki eksistensial tersebut? Bagaimana mungkin kita bisa memberi pengemis uang kalau kita sendiri tidak memiliki uang sepeserpun?

Cosmological argument atau yang santer dalam istilah para teolog dengan dalil al-ijad tak lepas dari dua premis yang menyusun satu konklusi sebagaimana argumentasi rasional lainnya.

Berikut analisis dalil al-ijad ketika ditinjau dari konsep mantiq shuri (logika formal)

Premis minor: Alam raya dan segala isinya diciptakan setelah ketiadaan. Evidence untuk premis ini adalah apa yang kita peroleh dari panca indra kita. Bukankah kita beberapa dekade lalu tidak ada di dunia ini kemudian ada?

Premis mayor: Segala hal yang tercipta pasca ketiadaan maka pasti memiliki pencipta. Argumen penguat premis ini adalah prinsip kausalitas.

Konklusi: Alam raya dan seisinya memiliki pencipta.

Argumentasi primordial

Untuk jenis argumentasi ini biasa dikenal oleh kalangan teolog muslim dengan istilah al-adillah al-fithriyyah (naluri-naluri dan insting bawaan). Salah satu naluri bawaan manusia adalah keyakinan atas eksistensi Tuhan. Naluri tersebut dapat termanifestasikan ketika manusia menemui kesulitan. Pada saat manusia mengalami kondisi sukar, manusia akan senantiasa mencari perlindungan terhadap kekuatan yang di luar kesanggupan alam semesta.

Hal di atas dapat kita jumpai dalam beberapa penggalan ayat dalam surah Al-An’am

 قُلۡ مَن يُنَجِّيكُم مِّن ظُلُمَٰتِ ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ تَدۡعُونَهُۥ تَضَرُّعٗا وَخُفۡيَةٗ لَّئِنۡ أَنجَىٰنَا مِنۡ هَٰذِهِۦ لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ۝٦٣ قُلِ ٱللَّهُ يُنَجِّيكُم مِّنۡهَا وَمِن كُلِّ كَرۡبٖ ثُمَّ أَنتُمۡ تُشۡرِكُونَ ۝٦٤

Artinya: Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur””.

Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya”. (Q.S. Al-An’am [6]: 63-64)

Imam Fakhr al-Din al-Razi dalam kitabnya (mafatih al-ghaib) menjelaskan konsep argumentasi primordial tersebut seraya berkata:

الْإِنْسَانَ إِذَا وَقَعَ فِي مِحْنَةٍ شَدِيدَةٍ وَبَلِيَّةٍ قَوِيَّةٍ لَا يَبْقَى فِي ظَنِّهِ رَجَاءُ الْمُعَاوَنَةِ مَنْ أَحَدٍ، فَكَأَنَّهُ بِأَصْلِ خِلْقَتِهِ وَمُقْتَضَى جِبِلَّتِهِ يَتَضَرَّعُ إِلَى مَنْ يُخَلِّصُهُ مِنْهَا وَيُخْرِجُهُ عَنْ عَلَائِقِهَا وَحَبَائِلِهَا وَمَا ذَاكَ إِلَّا شَهَادَةُ الْفِطْرَةِ بِالِافْتِقَارِ إِلَى الصَّانِعِ الْمُدَبِّرِ.

Artinya: “Manusia ketika berada dalam kondisi kemalangan yang menyengsarakan, ataupun malapetaka yang sangat berat, dalam hatinya tidak akan ada sama sekali bentuk harapan kepada individu manapun. Seakan-akan naluri bawaannya sebagai manusia berusaha menariknya untuk kembali kepada Entitas superior tak terbatas yang dapat menyelamatkannya dari belenggu kesengsaraan tersebut”

(Mafatih al-Ghaib, Fakhr al-Din al-Razi, Juz 19, Hal. 71, Maktabah Turots)

Nabi pernah bersabda seraya menyerukan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai way of life (jalan hidup). Dan Al-Qur’an menyampaikan argumentasi tentang teologi secara rasional dan primordial, maka sangat dianjurkan bagi para pemuka agama untuk tidak mencukupkan pemahaman agama secara doktrinal saja. Di samping penguasaan doktrin-doktrin suci agama, para pemuka juga harus menguasai penyampaian argumentasi secara rasional dan primordial. Terlebih dalam tema-tema ketuhanan agar lebih bisa diterima banyak kalangan.

Redaksi

Redaksi

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini