Tradisi Ilmu Peruntuh Turki Utsmani

 Tradisi Ilmu Peruntuh Turki Utsmani

Oleh: Mudzakkir Khalil, S.H.I. M.H.I.

NidaulQuran.id | Seluruh penyebab runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani bermuara pada keruntuhan sistem ilmu yang berujung pada keruntuhan amal. Terkait dengan ilmu misalnya, meminimalisir keterpaduan antara ilmu dengan Al-Qur’an dan hadits. Selain itu, ilmu diraih melalui jalan pintas. Akhirnya pada tahapan amaliyahnya, tumbuh generasi yang anti otoritas yang mempermainkan kedudukan ahlul ilmi. Sikap ini lalu berujung pada pengisian pos-pos keilmuan oleh generasi-generasi berotak minimalis. Tidak kapabel.

Selanjutnya, karena pemangku jabatan dan kepentingan di tengah-tengah masyarakat telah dijejali dan diborong oleh mereka yang minim ilmu, akhirnya dideklarasikan penutupan pintu ijtihad, sempit dalam memandang segala sesuatu dan pada akhirnya juga; membangun amaliyah tanpa didukung oleh keilmuan yang mapan. Ini semua sebagai akibat dari bangunan tradisi kelimuan yang rapuh yang harus ditangung oleh umat.

Jika hal ini terus dibiarkan, negeri-negeri lainnya akan berujung sama dengan apa yang pernah terjadi pada kekuasaan Turki Utsmani. Tak ada pengecualian untuk Indonesia. Pada uraian selanjutnya, penulis hendak berupaya memaparkan sebagian dari penyebab runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani.

Tradisi Ilmu yang Meruntuhkan

Pertama, terlalu fokus pada matan (isi) dan melupakan sumber asli. Sebagaimana kutipan Ash-Shalabi, Syaikh Muhammad Al-Mubarak di dalam kitabnya “Al-Mujtama’ Al-Islami Al-Mu’ashir” menyebutkan faktor-faktor kejumudan dan stagnasi ilmu-ilmu agama yang kemudian menjadi bagian dari faktor runtuhnya Turki Utsmani. Faktor tersebut adalah terlalu fokus pada matan (isi) dengan cara meringkas karya-karya para ulama tanpa mencantumkan sumber asli dari Al-Qur’an dan hadits. Selain Syaikh Al-Mubarak, Syaikh Abdul Hamid bin Badis dan Ash-Shalabi, Imam Asy-Syaukani juga melakukan kritik atas sikap tersebut. Menurut hemat penulis, upaya para ulama untuk menulis kitab-kitab matan dan meringkas kitab-kitab yang besar adalah sebuah upaya positif yang wajib diapresiasi.

Namun, upaya tersebut jika tanpa menyebutkan sumber rujukan utamanya (dimana poin inilah yang menjadi fokus kritik para ulama di atas) ternyata memang meninggalkan dampak tersendiri di dalam tubuh umat Islam. Karenanya, Imam Asy-Syaukani sampai pada ungkapan, “Sebab telah terpatri dalam dada mereka bahwa hukum Syari’ah itu telah tercakup di dalam ringkasan tersebut dan selainnya adalah suatu hal yang bersifat keutamaan atau tambahan saja. Mereka pun demikian suka melakukan itu dan tenggelam di dalamnya. Mereka tidak suka pada selainnya dan menghindarinya dengan penghindaran yang sangat.” Demikian papar beliau.

Pada tataran realitas, terkadang ketika sebagian umat ini ditanya tentang dalilnya apa ketika melakukan sesuatu? Bukan jawaban yang diperoleh, malah menuduh orang yang bertanya dengan sebutan Salafi-Wahabi. Seolah-olah ciri Salafi-Wahabi adalah apabila orang bertanya tentang dalil sesuatu untuk sesuatu.

Kedua, tradisi pemberian ijazah yang terlalu longgar. Sebagaimana kutipan Ash-Shalabi, penulis kitab Al-Inhirafat Al-Aqadiyah wa Al-‘Ilmiyah fi Al-Qarnain At-Tsalits ‘Asyar wa Ar-Rabi’ ‘Asyar Al-Hijriyah wa Atsaruhuma fi Hayat Al-Ummah mengatakan, “Sehingga sangat mungkin ada seorang alim yang mengajar di Kairo memberikan ijazah kepada seorang siswa di Makkah, tanpa harus melihatnya atau mengujinya terlebih dahulu.”

Tradisi ini pun sebenarnya tidak berhenti pada akhir pemerintahan Utsmani yang menjadi salah satu faktor mundurnya kehidupan ilmiah di masa itu. Akan tetapi, tradisi longgar ini terus berlanjut. Penulis gagal memahami mengapa Universitas Al-Azhar di Kairo ikut terseret dalam gelombang terlalu gampang menerima mahasiswa strata satu untuk jurusan keagamaan misalnya.

Mereka yang pernah menimba ilmu di Al-Azhar tentu mengetahui tradisi yang ada. Sebagai contoh, mahasiswa di Al-Azhar tidak harus kuliah untuk mendapatkan ijazah. Cukup hadir saat ada ujian. Selebihnya, antara mahasiswa yang diterima dengan ketersediaan fasilitas juga menjadi salah satu argumen wujud kelonggaran ini. Selain di Kairo, di Pakistan dan bahkan di Indonesia juga terdapat kampus yang mempermudah mahasiswa untuk mendapatkan ijazah. Argumen yang pernah sampai ke penulis adalah untuk menyaingi lembaga pendidikan di Barat yang juga menyediakan ijazah dengan cara longgar tersebut.

Kekhawatiran penulis adalah seperti yang pernah disebutkan oleh Syaikh Dr. Abdullah Azzam ketika menggambarkan tentang kwalitas sarjana Syari’ah saat ini. Kata beliau, “Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas.”

Ketiga, tradisi pewarisan posisi keilmuan. Ash-Shalabi menegaskan, “Posisi ilmiah pada masa-masa akhir pemerintahan Utsmani menjadi satu hal yang diwariskan dan digilirkan dalam masalah-masalah yang sangat penting. Seperti mengajar, memberi fatwa dan jabatan imam bahkan sampai masalah kehakiman. Posisi-posisi itu diwariskan dengan kematian orang-orang yang menjabatnya. Persis seperti diwariskannya rumah, barang atau harta benda…Dia tidak akan segera dikuburkan sebelum posisi yang dia duduki sebelumnya telah diduduki oleh anaknya, saudara atau salah seorang kerabatnya. Padahal, seringkali ahli warisnya itu memiliki pemahaman yang sangat minim dan ilmu yang tidak memadai….. Padahal, mungkin saja orang lain sangat cocok untuk mengganti posisi orang yang meninggal tersebut.”

Tradisi ini sangat berbahaya dari banyak aspek. Diantaranya; tradisi ini akan menggeser mereka yang sebetulnya jauh lebih layak untuk mengisi posisi tersebut, tradisi ini berdampak buruk terhadap dunia pendidikan karena posisi keilmuan dipaksa untuk diisi oleh mereka yang sebetulnya berkualitas minim dan tradisi ini akan mempersulit munculnya pemimpin Robbani, karena keulamaan (baca; kekiyaian) yang harus mendidik umat, menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat, mengimami mereka serta yang lainnya dari posisi-posisi keagamaan diberikan kepada orang-orang bodoh dengan alasan orang tua mereka adalah ulama (kiyai). Karenanya, tidaklah mengherankan jika Ash-Shalabi sampai pada kesimpulan bahwa tradisi ini telah berkontribusi meruntuhkan Turki Utsmani. Karena pewarisan keilmuan seolah dianggap layaknya mewarisi toko dan barang tak bergerak lainnya.

Di dalam bukunya Ad-Dawlah Al-‘Utsmaniyah ‘Awamilun Nuhudh wa Asbab As-Sukuth Ash-Shalabi mengutip; “Bahkan kondisi buruk di zaman pemerintahan Utsmani ini ada orang-orang yang buta huruf menduduki posisi kehakiman. Berapa banyak orang-orang buta huruf di Damaskus dan Aleppo serta Al-Quds yang menjadi hakim agung.” Bahaya lain dari tradisi politik dinasti ini adalah justru mempermudah pihak lain untuk melakukan pengrusakan terhadap tradisi ilmiah dalam Islam. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu sejumlah kiyai di jawa timur sudah mulai menghkawatirkan akan masuknya paham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme ke kalangan pesantren melalui beasiswa yang diberikan oleh pihak Barat kepada anak-anak kiyai. Pihak Barat melakukan ini karena mereka memahami tradisi pewarisan posisi yang berlaku. Strategi mereka; rusak pola pikir anak kiyai, karena mereka kelak pasti akan menjadi kiyai untuk menggantikan posisi orang tuanya.

Keempat, penolakan dibukanya pintu ijtihad. Terdapat penolakan dibukanya pintu ijtihad. Dalam bahasa lainnya; bahwa pintu ijtihad telah ditutup dengan alasan sulit bagi orang-orang yang hidup di zaman sekarang ini untuk memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid. Pada poin ini penulis ingin menegaskan, menolak dan mengatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup merupakan hasil ijtihad juga. Lalu mengapa mengatakan pintu ijtihad telah ditutup. Bukankah persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat senantiasa berubah dan baru. Lalu siapakah yang akan menjawab problem-problem keummatan jika pintu penyelesaian masalahnya ditutup.

Banyak masalah yang jawabannya belum tentu ada di kitab-kitab terdahulu. Lagi pula, copy paste dari kitab-kitab terdahulu untuk menjawab persoalan saat ini bukanlah budaya ilmu Fiqih. Jika ini dilakukan, akan memunculkan generasi yang minim metodologi dan sulit menikmati wanginya ilmu fikih. Sebab, kalau pun terdapat jawaban atas penyelesaian persoalan-persoalan saat sekarang ini, tetap saja harus dilakukan ijtihad untuk mencocokkan jawaban di kitab tersebut dengan kondisi seseorang yang memerlukan penyelesaian. Supaya jawaban yang disodorkan sesuai dengan realitasnya. Selain itu, bidang yang menjadi garapan ilmu Fikih adalah realita, dan bukan ruang hampa. Sedangkan realita, tempat dan waktu sebagai alasan terjadinya perubahan fatwa.

Dalam hal ini, jika ijtihad tidak dilakukan, maka akan terjadi dua hal. Pertama, kehidupan akan menjadi jumud dan berhenti berkembang, sebab dia diatur oleh sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengannya. Kedua, kehidupan akan keluar dari rel yang benar. Keluar dari rel Syari’ah, sebab ia tidak didukung dengan ijtihad yang sesuai. Terkait manusia zaman sekarang yang sulit memenuhi syarat-syarat seseorang sebagai mujtahid, bukan alasan untuk kemudian menutup pintu ijtihad. Apalagi di saat sekarang yang telah banyak bermunculan ijtihad kolektif. Dalam analisis Syaikh Ash-Shalabi dan Syaikh Dr. Abdul Karim Al-Khatib (penulis kitab Sadd Bab Al-Ijtihad wa Mutarattab ‘Alaihi), bahwa seruan dan penolakan dibukanya pintu ijtihad dilakukan oleh kaum yang suka melakukan taqlid dan fanatik. Al-Khatib mengatakan, “Kaum muslimin terhenti melangkah. Dimana mereka merasa puas berada berada di posisi dimana ayah-ayah mereka dulu berada selama berabad-abad.” Demikian Ash-Shalabi mengutip.

Yang lebih mengerikan lagi adalah, budaya taqlid dan fanatik tersebut merambah ke wilayah mazhab, sehingga muncullah fanatisme mazhab. Pada poin ini penulis ingin menagaskan, bagi kalangan orang awam sebaiknya bermazhab untuk mempermudah dirinya. Tetapi dengan catatan; jangan fanatik. Sebab, jika terhadap para ulama yang ahli ilmu “dipaksa” harus semua pendapatnya terikat dan harus bermuara pada mazhab tertentu dan orang awamnya “dipasung” dengan sikap fanatiknya, dalam kondisi ini beragama menjadi tidak ubahnya seperti orang yang dibelenggu. Dibelenggu oleh sesama manusia. Sesama manusia saling membelenggu. Padahal, yang boleh membelenggu dan mengikat seorang muslim adalah Al-Qur’an dan hadits nabi. Sementara, sesama para ulama yang kredibel bisa berlaku Hum rijal wa nahnu rijal (mereka para ulama yang bisa berfatwa dan kami juga demikian).

Fanatisme mazhab ini telah dikritik oleh Syaikh Abdurrahman Al-Jabarati (penulis kitab ‘Aja’ib Al-Atsaar fi At-Tarajum wa Al-Akhbar). Menurut beliau, fanatisme mazhab terus menerus melemahkan tingkat keilmuan kaum muslimin, menimbulkan kemerosotan dan kebekuan keilmuan mereka, berperan besar dalam menghancurkan kesatuan kaum muslimin dan melemahkan ikatan persaudaraan diantara mereka, menimbulkan permusuhan dan perseteruan antar individu muslim dan jama’ah di kalangan mereka setelah mereka terpecah.

Syaikh Al-Jabarati sampai mengatakan, “Universitas Al-Azhar bahkan menjadi medan pertarungan antar mazhab yang demikian sengit. Khususnya antara pendukung mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i disebabkan adanya pertarungan memperebutkan jabatan Syaaikhul Azhar.” Sebagaimana analisis Ash-Shalabi dan Syaikh Az-Zahrani, sikap fanatisme mazhab ini telah memiliki andil dalam meruntuhkan pemerintahan Turki Utsmani. Karena mereka sibuk dengan masalah-masalah internal, lalu lengah dalam menghadapi musuh-musuh mereka yang sebenarnya.

Kelima, penyempitan makna ibadah. Di dalam Islam, tujuan dari penciptaan manusia dan syarat mutlak dalam meraih kemenangan adalah ibadah (Qs. Adz-Zariyat: 56 dan Qs. An-Nur: 55). Adapun makna ibadah dalam Islam adalah sebuah istilah yang menyeluruh bagi setiap yang mendatangkan kecintaan dan keridhoan Allah. Baik berupa perkataan maupun perbuatan. Artinya, ibadah memiliki dimensi yang luas, seluas Islam itu sendiri.

Menurut Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi (penulis kitab Ad-Dawlah Al-‘Utsmaniyah ‘Awamilun Nuhudh wa Asbab As-Sukuth), kemenangan yang dicapai oleh pemerintahan Utsmani generasi awal adalah karena mereka merealisasikan makna ibadah secara lengkap dan komprehensif seperti yang mereka fahami dari Al-Qur’an dan hadits serta yang mereka dapatkan dari kalangan ulama salaf. Sedangkan penyempitan makna ibadah pada akhir-akhir pemerintahan Utsmani dan penyimpangan dari maknanya yang meyeluruh membuka peluang maraknya mazhab Sekular. Sehingga Islam menjadi terasing dari Jihad, hukum-hukum mu’amalat, keuangan dan lainnya. Dampak negatif lainnya adalah lemahnya kesadaran politik, sosial dan moral. Pada akhirnya, kekuasaan Turki Utsmani mampu diruntuhkan oleh gagasan Turki Sekular oleh Musthafa Kamal Ataturk.

Keenam, menyebarnya fenomena Syirik, Bid’ah dan Khurafat. Titik temu antara Syirik, Bid’ah dan Khurafat adalah sama-sama tidak mendapatkan legitimasi dari ilmu yang benar. Tentang Syirik Al-Qur’an menegaskan, “Allah sekali-kali tidak pernah menurunkan alasan (ilmu) untuk itu.” (Qs. Al-A’raf: 33 dsb). Tentang Bid’ah Allah ta’ala mengatakan, “Kami tidak pernah menetapkannya atas mereka.” (Qs. Al-Hadid: 27). Sementara tentang Khurafat, dilihat dari definisinya; ia merupakan jenis yang sama dengan dua istilah di atas.

Jika Syirik, Bid’ah dan Khurafat dilihat dari sudut pandang benar (haq) dan salah (bathil), maka jawabannya adalah bahwa ketiganya adalah bathil. Jika ketiganya itu bathil, maka titah Ilahi tentang akan runtuhnya kebatilan (al-bathil) berlaku untuknya (baca; Qs. Al-Isro’ [17]: 81). Bahkan, eksistensi kebenaran mampu meremukkan kebatilan tanpa mampu kembali lagi (baca; Qs. Saba’ [34]: 49). Selanjutnya, jika ketiganya dilihat dari neraca (timbangan) manfaat atau tidak bermanfaat, maka jawabannya adalah bahwa ketiganya tidak bermanfaat. Jika ketiganya tidak bermanfaat, maka dustur Ilahi tentang bahwa segala sesuatu yang tidak bermanfaat itu pasti akan sirna juga berlaku untuk ketiganya (baca; Qs. Ar-Ra’d [13]: 17).

“Adapun buih, akan sirna sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya.”

Dengan mengutip pernyataan Syaikh Az-Zahrani (penulis kitab Al-Inhirafat Al-Aqadiyah wa Al-‘Ilmiyah fi Al-Qarnain At-Tsalits ‘Asyar wa Ar-Rabi’ ‘Asyar Al-Hijriyah wa Atsaruhuma fi Hayat Al-Ummah) dan Syaikh Dr. Abdurrahman Al-‘Umari (penulis kitab Al-Futuh Al-‘Alamiyah ‘Ibr Al-‘Ushur), Ash-Shalabi menegaskan, “Sesungguhnya pemerintahan ‘Utsmani pada dua abad terakhir tenggelam dalam fenomena Syirik, Bid’ah dan Khurafat. Terjadi penyimpangan besar-besaran dalam Tauhid yang disertai kegelapan dan kebodohan, sehingga menutup hakikat agama. Cahaya tauhid menjadi sirna dan menyimpang dari jalan yang lurus.” Tatkala pemerintahan ‘Utsmani menerapkan tauhid dan memahami ibadah dengan benar dan integral serta memerangi kemusyrikan, saat itu ia berada dalam kejayaan, kekuatan dan kemenangan.” Wallahu ta’ala a’lam bisshawab ![]

Redaksi

Redaksi

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini