Argumentasi Rasional dan Primordial atas Eksistensi Tuhan dalam Surah al-An’am
Makna Syukur dalam Madarij as-Salikin karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah: Fondasi Penghambaan Sejati kepada Allah
Allahuyarham KH. Muhammad Muinudinillah Basri
nidaulquran.id-Kitab Madarij as-Salikin karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah merupakan salah satu karya agung dalam khazanah tasawuf dan spiritualitas Islam. Kitab ini bukan sekadar penjelasan (syarah) atas karya Syaikh Abdullah al-Harawi yang berjudul Manazil as-Sa’irin, melainkan sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang mendalam. Ibn Qayyim mengajak pembaca untuk menapaki tangga-tangga spiritual (manazil) menuju kesempurnaan makna ayat “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in” — Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Dalam kerangka tersebut, Ibn Qayyim menempatkan syukur (manzilah as-syukr) sebagai salah satu terminal paling penting dalam perjalanan seorang hamba menuju Allah. Syukur, menurut beliau, bukan sekadar ucapan “Alhamdulillah”, melainkan keadaan jiwa yang mencerminkan kesadaran mendalam terhadap nikmat Allah dan penggunaan nikmat itu untuk tujuan yang diridai-Nya.
Bahkan, Ibn Qayyim menyebut syukur sebagai derajat spiritual yang lebih tinggi dari rida, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari iman. Bersama dengan sabar, syukur disebut sebagai dua setengah dari iman — sabar menjadi separuhnya, dan syukur menjadi separuh lainnya.
1. Hakikat dan Kedudukan Syukur
Secara bahasa, kata syukur berasal dari akar kata syakara, yang berarti tampak, berkembang, atau berbuah. Para ahli bahasa Arab seperti Ibn Faris menjelaskan bahwa kata ini diambil dari gambaran seekor hewan yang diberi makan sedikit, namun tubuhnya tampak sehat dan gemuk. Artinya, syukur adalah ketika kebaikan kecil menumbuhkan hasil besar.
Dalam kehidupan manusia, syukur bermakna tampaknya nikmat Allah dalam diri seseorang — baik pada tutur katanya, tindakannya, maupun perilakunya. Seorang yang benar-benar bersyukur akan terlihat dari caranya menggunakan waktu, hartanya, lisannya, dan seluruh anggota tubuhnya untuk hal-hal yang diridai Allah.
Dari sisi teologis, syukur memiliki kedudukan yang amat tinggi:
- Perintah dan Janji Allah: Allah memerintahkan kita untuk bersyukur dan menjanjikan penambahan nikmat bagi siapa pun yang melakukannya. Allah berfirman,
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian.” (QS. Ibrahim: 7) - Bentuk Ibadah yang Murni: Syukur merupakan bagian dari ibadah dan pengakuan eksklusif kepada Allah.
“Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian kufur kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152) - Sifat Para Nabi: Nabi Ibrahim disebut oleh Allah sebagai “Syākiran li an’umih” — orang yang selalu bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Nabi Nuh pun digambarkan sebagai “Abdan Syakura” — hamba yang amat banyak bersyukur.
Maka jelas, syukur bukan hanya etika spiritual, tetapi juga karakter utama para nabi dan orang saleh.
2. Lima Pilar Syukur yang Sempurna
Menurut Ibn Qayyim, syukur yang sejati berdiri di atas lima pilar utama. Jika salah satu hilang, maka kesempurnaan syukur akan berkurang.
- Ketundukan (Khudu’)
Seorang hamba yang bersyukur harus tunduk sepenuhnya kepada Allah. Ia menyadari bahwa seluruh nikmat datang dari-Nya dan tidak ada sedikit pun peran dirinya dalam memperoleh karunia itu tanpa izin Allah. - Cinta (Mahabbah)
Syukur tidak akan lahir dari hati yang dingin. Ia tumbuh dari cinta yang tulus kepada Sang Pemberi Nikmat. Orang yang mencintai Allah akan otomatis mensyukuri setiap pemberian-Nya, sekecil apa pun itu. - Pengakuan (I’tiraf)
Mengakui bahwa semua nikmat berasal dari Allah adalah inti syukur. Tanpa pengakuan ini, ucapan syukur hanya menjadi formalitas tanpa makna. - Pujian (Tsana’)
Syukur yang benar disertai dengan sanjungan kepada Allah. Ucapan “Alhamdulillah” bukan hanya lafaz di bibir, melainkan pujian yang lahir dari hati yang benar-benar memahami besarnya kasih sayang Allah. - Tidak Menggunakan Nikmat pada Kemaksiatan
Inilah pilar paling berat namun paling menentukan. Menggunakan nikmat untuk sesuatu yang dibenci Allah berarti menodai esensi syukur. Seorang hamba yang bersyukur tidak akan menggunakan matanya untuk melihat yang haram, lisannya untuk menggunjing, atau hartanya untuk maksiat. Sebaliknya, semua nikmat itu ia gunakan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Kelima pilar ini membentuk fondasi spiritual yang kokoh. Bila dijaga dengan baik, syukur akan menjadi sumber ketenangan dan kebahagiaan sejati.
3. Tiga Dimensi Manifestasi Syukur
Syukur yang benar tidak hanya terucap, tetapi juga terwujud dalam seluruh aspek diri seorang hamba — hati, lisan, dan anggota tubuh. Ibn Qayyim menjelaskan bahwa ketiga dimensi ini saling melengkapi satu sama lain.
| Dimensi | Manifestasi Syukur | Penjelasan |
|---|---|---|
| Hati (Qalb) | Rasa cinta dan bahagia dengan nikmat Allah | Hati dipenuhi cinta kepada Allah, selalu merasa senang dengan segala takdir-Nya, dan jauh dari keluh kesah. |
| Lisan (Lisan) | Pujian dan pengakuan atas nikmat | Mengucapkan “Alhamdulillah” dengan penuh kesadaran, membicarakan nikmat Allah, dan tidak mengeluh atas kekurangan. |
| Anggota tubuh (Jawarih) | Ketaatan dan amal saleh | Menggunakan seluruh anggota tubuh untuk taat kepada Allah, seperti bersedekah, menolong sesama, dan menjauhi dosa. |
Dengan demikian, syukur bukan sekadar ekspresi verbal, tetapi cerminan dari keseimbangan batin, ucapan, dan tindakan.
4. Tingkatan Syukur: Awam dan Khusus
Ibn Qayyim juga membedakan antara dua tingkat syukur berdasarkan kedalaman spiritualnya:
- Syukur Awam (Umum):
Syukur yang lahir dari nikmat-nikmat lahiriah seperti kesehatan, rezeki, kenyamanan hidup, dan karunia duniawi lainnya. Ini adalah bentuk syukur yang paling dasar, namun tetap bernilai besar di sisi Allah. - Syukur Khusus (Khusus):
Syukur yang muncul karena kesadaran atas nikmat-nikmat batiniah — seperti nikmat iman, ilmu, tauhid, dan kesempatan beribadah. Orang-orang yang berada di tingkat ini merasakan kenikmatan luar biasa saat sujud, membaca Al-Qur’an, atau berzikir. Mereka memandang ibadah sebagai karunia terbesar, bukan kewajiban yang membebani.
Bahkan, para sufi besar seperti Junayd al-Baghdadi mendefinisikan syukur tertinggi sebagai:
“Engkau tidak pernah menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.”
Inilah puncak syukur — saat seluruh nikmat, sekecil apa pun, menjadi jembatan menuju kedekatan dengan Allah.
5. Penutup: Syukur sebagai Jalan Menuju Kedekatan Ilahi
Bagi Ibn Qayyim, syukur bukan hanya respons terhadap nikmat, tetapi jalan hidup seorang mukmin. Syukur menjadikan hati lembut, jiwa tenang, dan hidup penuh berkah. Melalui syukur, seorang hamba tidak hanya mendapatkan tambahan nikmat, tetapi juga kedekatan dengan Allah.
Syukur sejati mencakup ketundukan, cinta, pengakuan, pujian, dan penggunaan nikmat dalam ketaatan. Inilah bentuk penghambaan yang paling indah—menjadikan setiap karunia Allah sebagai sarana ibadah, bukan alat untuk melupakan-Nya.
Dengan menapaki tangga-tangga syukur sebagaimana dijelaskan dalam Madarij as-Salikin, seorang muslim akan mencapai makna sejati dari ayat “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in” — ibadah dan permohonan pertolongan yang murni kepada Allah semata.
Referensi:
Artikel ini diadaptasi dari kajian Kitab Madarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Bab Syukur, yang disampaikan melalui kanal IBASKA TV.
Tautan video: Kajian Kitab Madariju Salikin Bab Syukur