Akhlak Terpuji: Dari Pikiran ke Aksi

nidaulquran.id-Buya Hamka dalam buku Lembaga Budi (2016) menyatakan bahwa kelebihan dan perbedaan manusia dari makhluk yang lain ialah manusia itu bila mana bergerak, maka gerak dan geriknya itu timbul dari dalam, bukan datang dari luar.
Segala usaha, pekerjaan, langkah yang dilangkahkan, semuanya itu timbul dari maksud yang tertentu dan datang dari perasaan yang paling tinggi, yang mempunyai kekuasaan penuh dalam dirinya. Tidak demikian dengan binatang. Gerak gerik binatang hanya tunduk kepada gharizah (instinct) semata-mata, tidak disertai oleh pertimbangan.
Segala pekerjaan menusia itu timbul dari pertimbangan akal pikirannya. Pikiran itu menyesuaikan tujuan (ghayah) dan jalan mencapai tujuan (wasilah), serta dipikirkannya pula akibat yang akan diterimanya bila pekerjaan itu ia kerjakan.
Dengan adanya tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi lebih dinamis, terarah dan bermakna. Tanpa tujuan, semua aktivitas manusia akan kabur dan terombang-ambing. Manusia yang bergerak atau melakukan sesuatu hal, tanpa pertimbangan baik dan buruk sebelumnya, merupakan manusia yang tidak ada bedanya dengan binatang.
Oleh karena itu, manusia sudah seharusnya hanya melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat saja. Berkata yang baik, berbuat yang baik, menebar manfaat bagi sesamanya. Karena manusia hidup tidak sendiri, ada teman, ada tetangga, dan bagi yang telah menikah ada istri, ada suami, ada anak, cucu dan sebagainya.
Manusia hidup membutuhkan bantuan orang lain, tanpa mereka, ia akan kesulitan dalam menjalani hidup. Pakaian yang ia kenakan sekarang bukanlah ia yang membuatnya sendiri dari awal. Butuh kapas yang ditanam dan dirawat oleh petani, ada benang yang diolah oleh orang lain, kemudian menjadi kain, setelah itu dijahit oleh tukang jahit menjadi pakaian, begitu seterusnya hingga sampai kepadanya sekarang ini.
Dalam menjalani hidup, manusia selalu membutuhkan kerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu, ia harus berbuat baik, berakhlak baik pada orang lain pula. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda:
“Maukah kalian aku kabarkan tentang orang yang paling aku suka dari kalian, dan pada hari kiamat tempat duduknya paling dekat dengan aku?” Orang-orang semuanya diam, maka beliau mengulangi kata-katanya tersebut sampai dua atau tiga kali. Akhirnya mereka pun menjawab; “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Yaitu orang yang akhlaknya paling baik di antara kalian.” (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam juga bersabda dalam hadis yang lain: “Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad)
Jika kita hendak berbuat jahat pada yang lain, maka pikirlah terlebih dahulu bagaimana jika perbuatan jahat tersebut dilakukan pula oleh yang lain pada kita. Kita merenung, pasti kita tidak mau diperlakukan jahat oleh orang lain. Sehingga kita urungkan niat jahat kita.
Ingatlah kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam ketika mendapat kata-kata buruk dari saudara-saudaranya. Ia menahan agar tidak membalas dengan keburukan pula. Ia diam, hanya berkata dalam hatinya.
قَالُوا إِن يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَّهُ مِن قَبْلُ فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ قَالَ أَنتُمْ شَرٌّ مَّكَانًا وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ
”Mereka berkata:”Jika ia mencuri, maka sesungguhnya telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum ini”. Maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya):”Kamu lebih buruk kedudukkanmu (sifat-sifatmu) dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan itu”. (QS. Yusuf: 77).
Menahan diri agar tidak berbuat buruk adalah sedekah. Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Menahan diri dari berbuat kejahatan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bersabar untuk tidak membalas keburukan dengan keburukan yang serupa merupakan kebaikan. Tidak membalas cacian dengan cacian yang serupa atau yang lebih buruk. Apapun perkataan jelek yang diucapkan oleh orang lain kepada kita, hal itu tidak akan membuat kita jelek.
Karena yang menentukan kita jelek atau tidak adalah sikap kita dalam meresponnya. Jika kita respon dengan ketidaksabaran maka itu justru akan membuktikan bahwa kita memang jelek. Tetapi jika kita tetap baik dalam menyikapinya, maka itu menunjukkan tingginya akhlak kita.
Berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita adalah hal biasa, tetapi tetap berbuat baik kepada orang yang tidak baik kepada kita itu baru luar biasa.
Hidup yang tidak pernah ada masalah tidak akan menjadikan hidup terasa hidup. Karena masalah yang hadir adalah sebagai sarana untuk menguji kualitas kita. Seberapa sabarkah kita, seberapa kuatkah kita, seberapa luasnya rasa maaf kita, dan seberapa sadarkah kita untuk tetap mengedepankan hal-hal baik.
Irfan Hamka (anak Buya Hamka) dalam buku yang berjudul Ayah, Kisah Buya Hamka (2017) menceritakan ketika Buya Hamka mendapat pertanyaan tentang bagaimana bersikap dengan tetangga yang sudah haji, rajin beribadah namun akhlaknya kepada tetangga-tetangganya kurang baik, bahkan jika ada ternak yang masuk ke pekarangannya selalu dilempar dengan batu. Dan satunya lagi adalah seorang dokter yang baik hati, tengah malam pun dokter ini tidak menampik bila ada pasien datang ke rumahnya, tetapi ia tidak pernah ke masjid untuk shalat.
Buya Hamka menjawab, “Kita sepakati dulu bahwa shalat adalah tiang agama. Sedangkan kebaikan yang lain sebagai pengikutnya. Kalimat, ‘Pak Haji taat shalat’, kata ‘tapi’-nya kita hilangkan dulu. Sehingga kalimatnya menjadi, ‘Pak Haji taat beribadah (koma bukan titik)’. Sambungannya, ‘kebaikan yang lainnya belum diikuti oleh Pak Haji’. Lalu untuk ikutnya kebaikan yang lain, ini peranan dakwah bil hal, yaitu dakwah dengan cara memberi contoh teladan, perbuatan, atau sikap. Memberi contoh yang baik ke Pak Haji. Prosesnya bisa lama bisa sebentar. Mengubah perangai seseorang mudah-mudah sulit. Namun kebiasaan rajinnya Pak Haji beribadah jangan diejek.”
“Begitu pula dengan halnya si Dokter. Kebalikan dari perilaku Pak Haji, si Dokter jangan diejek karena dia tidak shalat. Kata-kata ‘tidak shalat’, juga diganti dengan kata ‘belum shalat’. Hal ini pun harus diselesaikan dengan dakwah bil hal, dengan cara yang lemah lembut. Yang penting si Dokter tetap beragama Islam. hanya belum shalat.”
Dari kisah Buya Hamka di atas, kita dapat mengambil pelajaran tentang bagaimana menasehati seseorang dengan bijak. Jika seseorang memiliki kekurangan, maka jangan mencaci kelebihannya. Karena kebaikannya biarkan diteruskan dan adapun kekurangannya adalah tugas kita untuk memberi contoh yang baik kepadanya.
Kita menjadi teladan yang sabar agar ia bisa lebih baik. Karena dakwah adalah mengajak bukan mengejek. Ajarkan kebaikan tanpa mencaci kekurangan, niscaya kekurangan itu akan berkurang dan hilang berganti dengan kebaikan yang kita ajarkan. Intinya adalah bersabar.
Wallahua’lam