Menavigasi Identitas Keislaman: Urgensi Fiqih Minoritas Muslim di Eropa

 Menavigasi Identitas Keislaman: Urgensi Fiqih Minoritas Muslim di Eropa

Oleh: Hafidz Iman
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

nidaulquran.id-Era modernitas membuka peluang bagi masyarakat Indonesia untuk merantau ke berbagai belahan dunia, termasuk Eropa. Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi pendorong utama, sementara globalisasi memperluas akses informasi terkait peluang tersebut.

Komunitas Muslim Indonesia di Eropa menjadi bagian dari diaspora yang menghadapi tantangan dalam menjalankan ajaran Islam di lingkungan mayoritas non-Muslim. Kesulitan dalam menjalankan ibadah, hingga interaksi sosial, memunculkan kebutuhan akan panduan yang fleksibel namun tetap berbasis syariat, yang kemudian dikenal sebagai Fiqh al-Aqalliyat.

Hakikat Fikih Minoritas

Fikih Minoritas (al-Fiqh al-Aqalliyyat) mengacu pada panduan hukum Islam bagi Muslim yang tinggal di wilayah di mana mereka menjadi minoritas. Konsep ini menyesuaikan ajaran Islam dengan realitas sosial, sehingga hukum yang mungkin tidak relevan dalam kondisi mayoritas Muslim dapat disesuaikan dalam lingkungan minoritas.

Menurut Thaha Jabir al-Alwani, fikih minoritas menjaga keterkaitan hukum syar’i dengan wilayah tempat mereka tinggal. Syaikh Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa meskipun fikih ini memiliki karakteristik khusus, ia tetap berakar pada metodologi ushul fikih yang sama dengan fikih Islam pada umumnya, yaitu bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, Qiyas, dan Ijma’ Ulama.

Fikih minoritas berusaha menjembatani antara hukum Islam yang ideal dengan kondisi yang menuntut fleksibilitas tanpa melanggar prinsip dasar Islam. Dalam banyak kasus, pendekatan ini membantu Muslim minoritas untuk tetap berpegang teguh pada keyakinannya sekaligus menyesuaikan diri dengan kehidupan di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Oleh karena itu, fikih minoritas tidak hanya bersifat pragmatis, tetapi juga berbasis pada prinsip maqashid al-syari’ah, yaitu mencapai kemaslahatan bersama.

Historisitas Fikih Minoritas

Gagasan fikih minoritas lahir dari kebutuhan Muslim di negara mayoritas non-Muslim untuk menjalankan ajaran Islam secara optimal tanpa mengabaikan realitas sosial di sekitar mereka.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Thaha Jabir al-Alwani dalam majelis fikih Amerika Utara pada 1994, ketika ia mengeluarkan fatwa yang mengizinkan Muslim Amerika berpartisipasi dalam pemilu meskipun tidak ada kandidat Muslim. Pendekatan ini didasarkan pada tujuan utama syariat Islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan umat dalam berbagai kondisi.

Perkembangan fikih minoritas juga dapat dilihat dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga Islam di dunia Barat. Misalnya, European Council for Fatwa and Research (ECFR) yang didirikan di London pada 1997 berperan penting dalam membimbing komunitas Muslim minoritas agar tetap dapat menjalankan ajaran Islam dengan mempertimbangkan aspek sosial dan hukum di negara tempat mereka tinggal.

Urgensi Fikih Minoritas

Fikih minoritas sangat penting dalam membantu Muslim mempertahankan identitas keislaman mereka di lingkungan non-Muslim.

Al-Qaradawi merinci tujuh tujuan utama fikih minoritas: mempermudah penerapan ajaran Islam, mendukung identitas keislaman, memfasilitasi dakwah yang mudah dipahami, mengembangkan pemikiran Islam yang terbuka dan toleran, meningkatkan kesadaran hak-hak Muslim, membantu Muslim dalam menjalankan hak dan kewajibannya, serta menawarkan solusi atas berbagai tantangan kontemporer yang dihadapi Muslim di negara non-Muslim.

Salah satu aspek utama yang ditekankan dalam fikih minoritas adalah pentingnya keseimbangan antara keteguhan dalam menjalankan ajaran Islam dan kemampuan untuk beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup aspek sosial, ekonomi, dan budaya, di mana Muslim minoritas perlu mempertimbangkan strategi yang memungkinkan mereka tetap menjalankan Islam tanpa menimbulkan konflik sosial yang tidak perlu.

Tantangan Muslim di Eropa

Meski banyak lembaga pemberi fatwa, seperti ECFR, Muslim di Eropa masih menghadapi berbagai kendala. Tantangan pertama adalah perbedaan sistem hukum, mengingat bahwa mayoritas masyarakat di Benua Eropa yakni menganut sekularisme, sementara Islam mengatur hampir seluruh aspek kehidupan.

Kedua, adanya perbedaan interpretasi hukum Islam akibat beragam latar belakang ulama. Ketiga, diskriminasi terhadap Muslim yang masih terjadi akibat stereotip negatif.

Kemudian tantangan keempat, kritik dari kalangan konservatif yang menilai fikih minoritas terlalu longgar. Kelima, fatwa yang kerap berubah dan tidak selalu konsisten, seperti kasus pinjaman berbunga yang awalnya diharamkan oleh ECFR, tetapi kemudian diperbolehkan dalam kondisi darurat untuk membeli rumah.

Meskipun tantangan-tantangan ini cukup kompleks, pendekatan fikih minoritas memberikan solusi bagi Muslim untuk tetap berpegang teguh pada ajaran Islam sembari menavigasi kehidupan di lingkungan yang berbeda dari negara asal mereka. Keseimbangan antara adaptasi dan keteguhan ini menjadi salah satu poin krusial dalam keberlanjutan Islam di negara-negara mayoritas non-Muslim.

Implementasi Fikih Minoritas dalam Kehidupan Sehari-hari

1. Dalam Hal Ibadah

Salah satu permasalahan yang dihadapi Muslim di Eropa adalah pelaksanaan shalat Jumat yang berbenturan dengan jadwal kerja. Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimah mengutip pendapat ulama Hambali bahwa waktu shalat Jumat dapat dimulai setelah matahari terbit hingga akhir waktu Zuhur, sementara sebagian ulama Maliki memperbolehkannya hingga menjelang magrib. Berdasarkan pandangan ini, dalam kondisi tertentu, shalat Jumat dapat dilakukan pagi atau sore hari jika tidak memungkinkan pada waktu yang disepakati mayoritas ulama.

2. Dalam Hal Warisan

Kasus lain yang menjadi perdebatan adalah warisan dari orang tua non-Muslim kepada anak Muslim. Al-Qaradawi berpendapat bahwa seorang Muslim boleh menerima warisan dari non-Muslim, tetapi tidak sebaliknya. Pandangan ini didasarkan pada riwayat dari Muadz bin Jabal bahwa Islam menambahkan hak seseorang, bukan menguranginya.

Kesimpulan

Fiqh al-Aqalliyat hadir sebagai solusi atas tantangan Muslim yang hidup di lingkungan mayoritas non-Muslim. Dengan tetap berpegang pada maqashid al-syari’ah, fikih ini memungkinkan umat Islam menjalankan ajaran agama dengan lebih realistis dan kontekstual tanpa kehilangan esensinya.

Meskipun menghadapi kritik, pendekatan ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan mampu beradaptasi tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamentalnya. Dalam era globalisasi, fikih minoritas menjadi jembatan yang memastikan bahwa Islam tetap dapat diamalkan dengan bijak di mana pun umatnya berada.

Wallahua’lam

Redaksi

Redaksi

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini