Pemerintah dan Pesantren Satukan Langkah, Siapkan SDM Unggul Bangsa
Mendidik: Bertukar Ide Menghargai Pilihan

nidaulquran.id-Buya Hamka dalam Pribadi Hebat menyebutkan bahwa masih ada sisa penjajahan yang masih melekat kuat di dalam jiwa masyarakat. Sisa penjajahan itu merupakan penjajahan jiwa, yakni kebelanda-belandaan (budaya kolonial) dan pergaulan yang kolot (Hamka, 2020).
Jiwa yang terjajah sebagaimana pendapat Buya Hamka tersebut ternyata masih mengakar kuat pada masyarakat hingga kini. Tak jarang kita jumpai orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan cara penuh kekerasan, memaksakan apa yang menurut orang tua baik padahal belum tentu hal tersebut baik dan cocok untuk anaknya.
Sikap orang tua yang tidak mau belajar, tidak mau mendengarkan, dan tidak menghargai pendapat anak menjadikannya orang tua yang keras dan kaku. Kalimat-kalimat yang menjadi senjata andalan orang tua yang kaku adalah pokoknya harus begini, harus manut sama orang tua, orang tua lebih tahu daripada anak, dan lain sebagainya.
Orang tua harusnya membuka lebar pintu diskusi dengan anaknya yang sudah mampu berpikir untuk mendapatkan kompromi atas berbagai pandangan yang berbeda agar tidak menimbulkan sentimen yang tidak baik. Menyikapi berbagai pandangan yang saling bertentangan dengan membandingkan berbagai pandangan (tesis dan antitesis) untuk menghasilkan sebuah kesimpulan (sintesis) kalau dalam Filsafat cara itu bisa disebut dengan metode dialektik (Juhaya, 2020).
Mindset orang tua yang kaku, menganggap anaknya sebagai anak yang berani membantah, tidak manut, tidak taat, dan berbagai stigma yang lain manakala anaknya menyampaikan pendapat yang berbeda dari orang tuanya sudah waktunya untuk diluruskan. Anak yang bersedia menyampaikan pendapat merupakan anak yang berani menyampaikan isi pikirannya, kritis, dan tidak suka hanya membebek tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu.
Orang tua harusnya bangga ketika memiliki anak yang pikirannya kritis sembari tetap memberikan masukan atau pandangan-pandangannya selaku orang tua yang bisa dijadikan referensi untuk anaknya.
Menghormati Orang tua
Tak peduli setinggi apa ilmu yang dimiliki seorang anak, ia tetap wajib menghormati orang lain lebih-lebih orang tuanya sendiri. Ilmu wajib diiringi dengan adab. Seorang anak harus menyadari bahwa tidak ada orang tua yang ingin anaknya tumbuh dalam kebodohan.
Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya meski cara-cara yang mereka tempuh mungkin menurut kita kurang relevan. Memahami maksud orang tua merupakan bekal penting bagi seorang anak untuk bersikap bijak dengan orang tuanya.
Orang tua mana yang senang ketika sedang berbicara serius tiba-tiba dipotong oleh anaknya dengan nada tinggi. Maksud hati seorang anak ingin mengutarakan ketidaksetujuannya akan pendapat orang tua, tetapi alih-alih didengar, berbicara dengan nada tinggi kepada orang tua hanya akan memicu pertengkaran dan perdebatan yang tidak produktif.
Mendengarkan dengan baik dan penuh perhatian setiap kalimat yang diucapkan orang tua merupakan bentuk penghormatan kita padanya. Jika ada hal-hal yang kita tidak sependapat dengan orang tua, sampaikan dengan tenang dan pilihlah kata-kata yang baik dan jelas.
Memberikan masukan atau arahan terhadap pilihan kita merupakan salah satu tanda perhatian orang tua. Apabila kita mampu memahami dengan baik bentuk-bentuk perhatian orang tua, kita tidak akan mudah memberikan judge yang negatif kepada orang tua.
Berbagai masukan atau pandangan berbeda yang disampaikan orang tua kepada kita merupakan bekal penting yang bisa kita jadikan bahan berpikir untuk menentukan pilihan yang menurut kita paling tepat. Herakleitos, salah seorang filsuf kenamaan mengatakan bahwa “Pertentangan adalah bapak segala sesuatu” (Juhaya, 2020). Banyaknya pandangan yang berbeda bila dimanfaatkan dengan baik akan menjadikan semakin kaya referensi dan semakin bernas pula sebuah pilihan.
Referensi:
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana, 2020.
Hamka. Pribadi Hebat. Depok: Gema Insani, 2020.