Menumbuhkan Sikap Rendah Hati dengan Ilmu

 Menumbuhkan Sikap Rendah Hati dengan Ilmu

nidaulquran.id-Inilah cerita yang banyak berisi pelajaran hidup: Dalam Angkatan Baru (2016) ulama sekaligus sastrawan Buya Hamka menceritakan kisah seorang perempuan bernama Syamsiar yang merupakan lulusan sekolah menengah agama di Padang. Dahulu, Ibu dan Mamak (saudara laki-laki dari Ibu) Syamsiar berharap agar kelak ketika ia pulang ke kampung bisa menjadi perempuan yang terpelajar, alim, dan mengerti agama.

Ketika Syamsiar kembali ke kampung ia sangat dihormati oleh Ibu dan keluarganya sebab ia telah menjadi alim. Syamsiar menjadi kebanggaan keluarganya lantaran tidak ada gadis seperti dirinya di kampung. Meski Syamsiar sangat dihormati sebagai orang yang berilmu, ia merasa jemu melihat keadaan kampungnya. Lebih tepatnya ia jemu melihat kerabatnya yang ia anggap kolot lantaran hanya pandai ke sawah, ke ladang, membawa alat-alat untuk bertani, tidak mengerti kemajuan zaman.

Syamsiar tidak mau membantu ibu dan keluarganya menyelesaikan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan lain-lain. Syamsiar hanya sibuk membaca buku-buku roman berbahasa Arab yang disangka oleh keluarganya sedang belajar mengaji. Syamsiar beranggapan bahwa seorang lulusan sekolah menengah agama seperti dirinya hanyalah pantas melakukan pekerjaan yang menurutnya tinggi dan terhormat seperti berpidato atau mengajar di perguruan.

Melalui Angkatan Baru ini Buya Hamka ingin mengingatkan bahwa pendidikan tinggi bukanlah untuk mengejar gaji dan status sosial semata, tetapi untuk membawa perubahan dan kemajuan masyarakat agar menjadi lebih baik. Seseorang yang berpendidikan tinggi sudah semestinya ikut andil berperan menciptakan perbaikan nyata di masyarakat. Berbagai ilmu yang telah didapatkan seseorang di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya diejawantahkan dalam konteks kemasyarakatan yang majemuk.

Sederet gelar akademis yang melekat pada nama seseorang bukanlah penghalang untuk berjibaku membantu mencarikan solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Misalnya saat di kampung ada kerja bakti membersihkan selokan yang mampet karena tersumbat sampah, orang yang berilmu tidak cukup hanya melihat saja dan menyuruh-nyuruh warga lain yang tidak memiliki gelar akademis untuk masuk selokan membersihkan sementara dirinya hanya duduk manis sambil minum teh tanpa berperan sedikitpun.

Seseorang yang berilmu sudah waktunya menyadari bahwa ialah yang harus menyatu dengan masyarakatnya, ia yang harus menggunakan pikirannya agar bisa memahami masyarakat, bukan malah menuntut masyarakat untuk memahami dirinya yang berilmu. Seorang yang berilmu harus berperan memberikan edukasi-edukasi yang positif kepada masyarakat sekaligus menjadi contoh teladan. Sebagai seorang yang berilmu sudah semestinya ia membumi, menurunkan ego dan gengsi untuk benar-benar bisa menyatu dan selaras dengan masyarakat.

M. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim (2020) menyebutkan bahwa salah satu akhlak yang harus dimiliki oleh orang yang berilmu (‘alim) atau guru adalah rendah hati (tawadhu’). Ini menegaskan bahwa seseorang yang semakin bertambah tinggi ilmu yang dikuasainya sudah semestinya membuatnya semakin rendah hati kepada sesama.

Orang yang berilmu tidak boleh memandang rendah berbagai pekerjaan lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Karena sejatinya semua pekerjaan yang berlandaskan pada aturan dan memiliki manfaat adalah pekerjaan mulia.

Orang yang berilmu adalah orang yang bisa menempatkan dirinya di mana saja berada. Tidak malu dan gengsi untuk sekedar bertegur sapa kepada sesama warga di kampungnya. Orang yang berilmu bukanlah orang yang gila hormat dan haus pujian yang kemana-mana berharap orang lain untuk sungkem kepadanya lantaran gelar akademiknya yang berderet-deret.

Orang yang berilmu adalah orang yang bijak karena ia mampu menggunakan logika berpikirnya secara runtut dan sehat. Ini artinya seseorang yang memiliki ilmu sangat berbeda dengan kebanyakan orang. Saat menghadapi masalah misalnya, orang-orang pada umumnya akan mengutamakan emosi atau amarahnya. Sedangkan orang-orang yang berilmu akan mengutamakan dan menggunakan logikanya untuk berpikir memahami dengan baik agar mendapatkan solusi yang tepat.

Saat berdiskusi dan berbeda pendapat dengan orang lain, orang yang berilmu akan bersikap bijak. Ia akan fokus pada substansi materi yang sedang dibahas sehingga yang didiskusikan benar-benar mengenai ilmu, bukan menyerang personal, lembaga, atau hal-hal lain yang tidak ada kaitannya sedikitpun dengan materi yang dibahas. Lebih dari itu, orang yang benar-benar berilmu tidak akan gampang menyalahkan pendapat yang tidak sama dengannya karena ia menyadari bahwa semua membutuhkan pertimbangan keilmuan yang matang.

Avatar

Nur Kolis, S.Ag., M.Pd.

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini