Memahami Ulang QS. Al-Baqarah 286: Sudah Benarkah Pemahaman Kita?

 Memahami Ulang QS. Al-Baqarah 286: Sudah Benarkah Pemahaman Kita?

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَاۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ۝٢٨٦

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286)

nidaulquran.id-Sering kali ayat ini kita kutip saat bermaksud memberi dukungan moril. Seperti ungkapan, “yang sabar ya, kamu pasti kuat melewati ujian ini, karena Allah gak akan pernah ngasih ujian yang melebihi kapasitas hamba-Nya.” Seolah frasa ‘tidak membebani’ di ayat ini bermakna tidak memberi ujian hidup kepada seseorang yang menjadi bagian dari ketetapan Allah.

Pertanyaan kritisnya: apakah mengutip ayat ini dengan konteks tersebut merupakan pemaknaan yang tepat terhadap firman Allah yang satu ini?

Jawaban untuk pertanyaan tersebut ada di balik pemahaman kita terkait frasa lā yukallifu, yang diterjemahkan dengan “Allah tidak membebani seseorang.” Menilik makna terjemahnya, tentu ungkapan tadi menjadi relevan. Tapi apakah terjemahan Al-Qur’an cukup untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an? 

Mari kita simpan pertanyaan ini untuk dijawab di akhir nanti.

Meluruskan Kesalahpahaman

Lafaz yukallifu berkelindan dengan lafaz mukallaf juga taklīf, di mana ketiganya berakar pada satu kata yang sama. Jika yukallifu berarti beban yang dimaknai sebagai musibah, maka mukallaf orang yang tengah ditimpa musibah dan taklif bermakna musibahnya itu sendiri. Adakah yang pernah menemukan penjelasan demikian? 

Nyatanya, ayat ini berbicara soal beban syariat yang Allah tuntut dari setiap individu yang disebut dengan entitas mukallaf, yaitu orang-orang yang berakal dan baligh. Sehingga taklif sederhananya adalah perintah dan larangan yang ada pada syariat ini. 

Itulah mengapa saat sampai di ayat ini Al-Qurṭūbī mengatakan, “Allah menyebutkan secara lugas bahwa Ia tidak membebani hamba-Nya dengan ibadah berupa amalan hati dan anggota badan kecuali sesuai dengan kadar kemampuan mereka…” (Al-Jāmi’ li Ahkāmi Al-Qur’ān 3/429)

Itu juga mengapa kelanjutan ayatnya berbicara soal pahala dan dosa. Pahala bagi yang mengusahakan ketaatan, dan dosa bagi yang melakukan kejahatan. Ibn Kaṡīr menambahkan, “pada amalan-amalan yang berada di batas taklif.” (Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm 1/737)

Antara Lafaz dan Makna

Jika diibaratkan, lafaz itu seperti jasad sementara ruhnya adalah makna. Lafaz menjadi representasi makna; seberapa kuat sebuah makna akan tercermin pada lafaz yang mewakilinya, entah dari sisi suara yang dihasilkan atau jumlah huruf yang membentuknya. (Al-Khaṣāiṣ 3/271) 

Antara lafaz (فَعَلَ) dengan (فَعَّلَ) selisih satu huruf saja, ada tambahan huruf (عـ) yang kemudian diwakili oleh tanda baca tasydid (ّ) di lafaz kedua. Selain dari jumlah huruf yang berbeda, upaya yang dibutuhkan untuk melafalkan keduanya juga berbeda, bunyi yang dihasilkan juga berbeda. Melafalkan lafaz kedua usahanya lebih banyak, suara yang dihasilkan jadi lebih kuat, selaras dengan makna yang terkandung di dalamnya.

Antara lafaz (قَطَعَ) dengan lafaz (قَطَّعَ) sama-sama bermakna memotong, tapi kata kedua bisa digunakan untuk menyisipkan makna repetisi, di mana orang yang melakukan perbuatan memotong tidak hanya melakukan sekali, namun berkali-kali, sehingga maknanya jadi memotong-motong. (Al-Muḥtasab fī Tabyīni Wujūh Syawāẓ Al-Qirā’āt wa Al-Īḍāh ‘Anhā 2/255)

Seperti juga kalimat (أَعْشَبَ المَكَانُ) yang bermaknya, “tempat ini ditumbuhi rumput”. Jika kalimatnya diubah menjadi (اعْشَوْشَبَ المَكَانُ) maknanya menjadi, “tempat ini ditumbuhi banyak rumput.” Ibn Jinnī di Al-Khaṣāiṣ (3/268) mengungkapkan bahwa lafaz kasabat dan iktasabat di ayat ini masuk dalam kategori pembahasan tersebut.

Kasabat dan Iktasabat

“Lahā mā kasabat wa ‘alaihā mā iktasabat,” intisari dari penggalan ayat ini adalah: setiap orang akan mendapatkan apa yang dia usahakan. Kebaikan yang dilakukan akan berbuah kebaikan pula, begitu pula dengan kejahatan. 

Jika demikian, maka kata kasabat dan iktasabat bermakna sama, sama-sama melakukan. Bedanya, di ayat ini, kasabat digunakan dalam konteks kebaikan, sementara iktasabat dalam konteks keburukan. Tapi mengapa dibedakan?

Jika kembali kepada kaidah di atas tadi, bahwa tambahan huruf menunjukkan adanya tambahan sisipan makna, maka berarti ada nilai yang terdapat pada kata iktasabat yang tidak ada pada kasabat. Apa itu? 

Jawabannya, nilai usaha yang lebih besar. 

Sederhananya, melakukan kebaikan itu membutuhkan upaya yang lebih minim dibanding dengan melakukan keburukan. Untuk mengonfirmasinya, mari kita lihat beberapa nas berikut ini; 

Allah berfirman:

مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ ‌عَشۡرُ ‌أَمۡثَالِهَاۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجۡزَىٰٓ إِلَّا مِثۡلَهَا وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

Artinya: Siapapun yang melakukan kebaikan maka baginya sepuluh kali lipat kebaikan yang serupa, sementara siapapun yang melakukan keburukan ia hanya akan menanggung keburukan yang sama. (Al-An’ām [6]: 160)

Perhatikan juga hadits berikut ini:

حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: “إِنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا، كُتِبَتْ عَشْرًا، وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ حَسَنَةً. ‌وَإِنْ ‌هَمَّ ‌بِسَيِّئَةٍ ‌فَعَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً، وَإِنْ لَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ حَسَنَةً”

Artinya: Diriwayatkan dari Ibn Abbas, Rasulullah saw bersabda: “siapapun yang berkehendak melakukan kebaikan, lalu ia lakukan, dicatat baginya sepuluh kebaikan, jika tidak ia lakukan, baginya satu kebaikan. Sementara siapapun yang merkehendak melakukan keburukan dicatat baginya satu kebururkan, jika tidak jadi ia lakukan, dicatat baginya satu kebaikan.” (HR. Ahmad, 2001)

Melakukan satu kebaikan berbuah sepuluh kebaikan, melakukan satu keburukan menghasilkan satu keburukan. Artinya, dari hasil yang didapat, satu kebikan setara dengan 10 keburukan, sebab untuk sampai hasil angka 100, diperlukan 100 kebururkan, di saat kebaikan hanya perlu 10 saja.

Untuk menghasilkan keburukan diperlukan kehendak dan perbuatan, sementara kebaikan kehendaknya saja sudah membuahkan kebaikan, bahkan urung berbuat keburukan dicatat sebagai perbuatan baik sehingga berbuah kebaikan.

Bukankah jika demikian adanya, kebaikan lebih minim usaha ketimbang keburukan? Itulah mengapa perbuatan buruk di ayat ini disebut dengan iktasabat yang notabene perlu huruf yang lebih, sebagai isyarat bahwa ia perlu upaya yang lebih. Sementara melakukan kebaikan disebut dengan kasabat, hurufnya lebih minim yang menunjukkan upaya melakukannya juga lebih minim. (Al-Khaṣāiṣ 3/268)

Terakhir, mari kita perhatikan apa yang dinukil oleh Al-Qurṭubī (3/431) dari Ibn ‘Aṭiyyah:

“Kebaikan adalah sesuatu yang diperoleh tanpa kesulitan yang berarti, sebab yang mendapatkannya berjalan di atas perintah Allah dan menjalankan syariat-Nya. Adapun keburukan disebut dengan bentuk hiperbolik, karena pelakunya bersusah payah untuk meraihnya, di mana ia harus menembus batas larangan Allah dan melanggarnya. Maka sangat tepat dalam ayat tersebut digunakan dua lafaz yang berbeda sebagai bentuk penegasan yang sesuai dengan makna ini.”

Kesimpulan

“Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya..,” maknanya, Alah tidak menetapkan syariat kecuali dapat ditunaikan oleh setiap hamba-Nya. Mafhumnya, jika kita bisa berpuasa, kita pasti bisa menegakkan salat, kita pasti bisa membayar zakat, pasti mampu meninggalkan riba, menjauhi zina, sampai pada aturan paling rumit di syariat ini, Allah sudah jamin bahwa kita memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Jikapun ternyata kita terkendala ini dan itu, sehingga masih banyak aturan Allah yang masih kita langgar, barangkali hal yang perlu dipertanyakan bukanlah soal kemampuan, tapi soal kemauan. 

Tapi di titik ini, biarkan setiap orang berkontemplasi dengan dirinya masing-masing.

Wallahua’lambiṣṣawāb

Mohammad Naufal Thonthowi Jauhary Elghiyats

Mohammad Naufal Thonthowi Jauhary Elghiyats

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar Mesir

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini