Islam Bersatu Indonesia Hebat

 Islam Bersatu Indonesia Hebat

Oleh: Mudzakkir Khalil, S.H.I., M.H.I.

Di tahun 2018 ini jumlah penduduk Indonesia berada pada angka 265 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 207 juta jiwa penduduk beragama Islam. Artinya, komposisi utama Negara ini masih dipegang oleh umat Islam. Jika demikian adanya, maka keberadaan komunitas muslim sangat menentukan kondisi bangsa Indonesia.

Berbicara mengenai Indonesia hebat, tidak terlepas dari pembicaraan umat Islam hebat. Karena mereka merupakan komposisi utama bangsa. Berbicara tentang umat Islam hebat, tidak akan terlepas dari pembahasan tentang umat Islam harus bersatu. Selebihnya, cita-cita persatuan hanya akan menjadi isapan jempol apabila perdamaian tidak dihadirkan. Untuk menghadirkan persatuan dan perdamaian di tengah umat Islam menuju Indonesia hebat, maka perlu ada landasan pemikiran dan moral serta cermin sejarah dalam mengelola perbedaan yang ada.

Landasan pemikiran Islam bersatu

Saham utama yang membuat umat Islam sulit bersatu adalah masalah perbedaan pendapat. Dalam hal ini, setidaknya ada dua landasan bagi fiqih perbedaan pendapat; yang pertama adalah berbentuk landasan pemikiran dan yang kedua adalah landasan etika (adab). Ada beberapa landasan pemikiran bagi fiqih perbedaan pendapat, di antaranya;

Pertama, tidak memastikan dan menolak hal-hal ijtihadiyah. Di antara tiga macam syari’at yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Taimiyah adalah syari’ah al-Mufassar. Syari’at yang merupakan hasil penafsiran para ulama yang memunculkan lebih dari satu pendapat. Dalam hal ini, sikap seorang muslim adalah boleh memilih untuk kemudian menjalankan pendapat yang ia yakini. Dialog untuk tujuan amar ma’ruf nahi munkar dan untuk tujuan kajian ilmiah sangat terbuka. Akan tetapi dilarang keras melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan tangan. Karena pada poin ini para ulama telah menegaskan, “tidak boleh mengingkari kemunkaran (dengan tangan/kekerasan) dalam masalah yang diperselisihkan.” Tidak boleh menafikan ijtihad ulama yang lain. Karena, “Suatu ijtihad ulama tidak boleh dibatalkan dengan ijtihad ulama lainnya.” Sebab ijtihad itu muncul karena tidak didapatinya dalil yang tegas (sharih). Sehingga khilafiyah tidak dapat dihindari.

Kedua, menelaah perbedaan pendapat para ulama. Jika seseorang menelaah argumentasi mereka yang melakukan Qunut Subuh, bisa jadi ia akan ikut serta melakukan Qunut Subuh. Demikian sebaliknya, karena khilafiyah dalam masalah ini sangatlah kuat. Hal ini juga terjadi pada masalah khilafiyah lain yang serupa.

Ketiga, menggarap masalah-masalah besar yang dihadapi oleh umat. Sangat ironis jika seorang muslim terus menerus tenggelam dalam membahas khilafiyah tentang hukum membakar sebatang rokok, lalu melupakan masalah terbakarnya banyak tubuh umat Islam di berbagai belahan dunia. Diantaranya di Miyanmar. Ironis juga jika kita hanya pandai menguraijelaskan fiqih Haid, Nifas dan Istihadhoh lalu tidak mampu mengurai fiqih mempertahankan diri (Daf’us Sha’il) sebagai bekal rakyat Palestina mempertahankan diri dari serangan penjajah Zionis. Parahnya lagi, di sebagian kita ada yang begitu saja mengcopy paste tema tentang Jihad di masa lampau, lalu dipaksa diterapkan di masa kini yang keadaannya sudah berbeda. “Jihad bersama pemimpin.” Demikian bunyi yang dicopy paste tanpa melihat kondisi. Bagaimana berharap bisa berjihad bersama pemimpin sedang pemimpin yang diharapakan tidak ada agenda untuk berjihad. Tidak ada kementerian dan divisi yang mengatur urusan tersebut. Mengapa masih saja siang dan malam sulit dibedakan.

Inilah yang membuat sahabat Ibnu Umar ra. menjawab dengan nada keras dan mengecam penduduk Irak yang bertanya tentang hukum terkena darah nyamuk pada waktu ihram. Beliau berkata, “Mereka bertanya tentang darah nyamuk, padahal mereka telah menumpahkan darah (Husein) cucu Rasulullah saw.” Dalam bahasa Abdullah Azzam, “Saudara membiarkan seorang penjahat masuk ke kamar isterimu dan meniduri di kasurnya, sedang saudara melakukan shalat malam di kamar sebelah, maka shalat malammu bisa jadi merupakan laknat yang akan ditimpakan kepadamu.”

Keempat, bekerjasama dalam masalah yang disepakati dan saling bertoleransi dalam masalah yang diperselisihkan. Kaidah ini dipopularkan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan diamalkan oleh Imam Hasan Al-Banna rahimahumalloh. Bentuk implementasinya, kita sepakat menutup aurat itu wajib bagi wanita. Namun terjadi perbedaan pendapat mengenai batasannya. Perbedaan pendapat tersebut lalu mewujud dalam perbedaan praktek; yang satu memakai cadar dan yang satu memakai jilbab. Titik temunya, menutup aurat wajib dan titik bedanya di batasannya.

Maka, bekerjasamalah pada titik temunya dalam upaya jilbabisasi wanita you can se dan bertoleransilah pada titik perbedaannya. Hal serupa terjadi pada persoalan Qunut Subuh. Tidak boleh hanya terfokus menguras waktu menegakkan batang leher dan menjadikan persoalan siapa yang salah diantara yang melakukan/meninggalkan Qunut Subuh. Sebab, titik fokus masalahnya adalah pada mereka yang belum mengerjakan sholat Subuh.

Terkadang kita dapati perbedaan para ulama bukan karena perbedaan dalil dan argumentasi, melainkan terletak pada perbedaan zaman, tempat dan keadaan. Seorang ulama bermazhab Maliki bernama Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani berani berbeda pandangan dengan Imam Malik. Beliau memelihara anjing untuk keperluan penjagaan, sementara Imam Malik memakruhkannya. Ketika ditanya, beliau menjawab, “Seandainya Malik hidup di zaman kami, pasti ia akan memelihara singa yang buas.”

Contoh lainnya, Imam Abu Hanifah membolehkan muamalah dengan aqad yang batil, diantaranya Riba, di luar Darul Islam. Asalkan sama-sama ridha dan tidak ada pengkhianatan dan penipuan.

Contoh lainnya lagi, Imam Ibnu Taimiyah pernah melewati pasukan Tartar yang sedang mabuk di Damaskus. Orang-orang mengecam dengan keras tindakan keji tersebut, sementara beliau dengan pertimbangan maslahat dan madharat berkata kepada mereka, “Biarkanlah mereka hanyut dalam minuman dan mabuk mereka. Allah mengharamkan khamr karena ia menghalangi dari mengingat Allah dan shalat, sedangkan khamr yang mereka tenggak dapat menghalangi mereka dari menumpahkan darah dan merampas harta.”

Selanjutnya, ada beberapa landasan adab bagi Fiqih perbedaan pendapat, diantaranya;

Pertama, Ikhlas karena Allah dan terbebas dari nafsu. Sebab, ada dua penyebab utama manusia menolak kebenaran. Pertama karena jahil (Qs. Al-Ahqaf [46]:11) dan kedua hawa nafsu (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 23).

Kedua, meninggalkan fanatisme terhadap individu, mazhab dan golongan. Sahabat Ali ra. mengatakan, “Kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengetahui pembawanya.” Jika pesan ini dibalik, kenalilah pembawa kebenaran niscaya engkau akan mengetahui kebenaran, maka pesan terbalik ini berpotensi menimbulkan sikap fanatisme. Sebab, tidak setiap pribadi pembawa kebenaran selalu benar. Tetapi, pesan sahabat Ali di atas jika diimplementasikan akan mengandung arti; dengan mengerti kebenaran seseorang akan dibawa kepada siapa saja para pembawa kebenaran itu walaupun individunya berbeda-beda. Beda halnya jika pesan di atas dibalik. Maknanya, membatasi pribadi yang membawa kebenaran.

Ketiga, dialog dengan cara yang lebih baik. Dalam poin ini yang paling terpenting adalah adanya kemauan dan kemampuan untuk berdialog. Yang menjadi persoalan adalah tidak adanya kemauan. Terkadang hanya melempar batu sembunyi tangan. Menghakimi keyakinan pihak lain, tanpa ada keinginan untuk duduk bersama. Bagaimana mungkin mau duduk bersama, jika diantara yang terlibat dalam lingkaran khilafiyah saling menuduh dan mencela. Ada yang mencela dengan sebutan Kafir, Bid’ah, Khawarij, Murji’ah, Hizbiyah dan segudang cela-cela yang lainnya. Jika sudah demikian, seolah mencela menjadi lebih utama daripada dialog. Tenang dengan mencela.

Cermin sejarah Indonesia hebat

Terdapat kesamaan antara komposisi penduduk Madinah (dahulu bernama Yatsrib) dengan komposisi penduduk Indonesia. Sebelum Rasulullah memasuki kota Madinah, wilayah tersebut dihuni oleh beraneka ragam kelompok dan afiliasi. Diantaranya terdapat kaum Aus dan Khazraj yang memeluk Islam, Yahudi dari suku bani Auf, Jusyam, Sa’idah, Tsa’labah, An-Najjar, Al-Harits dan bani Syuthaibah. Ditambah dengan Yahudi asli seperti Quraidhah, Nadhir, Qainuqa’ dan Yahudi lainnya.

Selain itu, kota Madinah juga dihuni oleh kaum Aus dan Khazraj yang kafir, dan para hamba sahaya. Selebihnya, terdapat juga kaum Muhajjirin yang datang dari Makkah. Dengan demikian, komposisi penduduk Indonesia sama beragamnya dengan penduduk Madinah yang dihadapi oleh Rasulullah saw. Dengan kesamaan keragaman yang ada Rasulullah memilih mencetuskan Piagam Madinah. Sementara para pendiri bangsa Indonesia mencetuskan dan menyepakati Pancasila sebagai dasar Negara.

Di dalam bukunya yang berjudul Musytarak Insan yang kemudian diterjemahkan menjadi The Harmony of Humanity, Prof Dr. Raghib As-Sirjani memaparkan; dengan melihat keragaman yang ada di kota Madinah, Rasulullah saw. dihadapkan dengan dua pilihan, tidak lebih; pertama, saling mengenali hal-hal yang mereka sepakati dan ikut serta bergabung di dalamnya supaya menjamin kehidupan bersama yang tenang, atau kedua, saling berseteru, berkelahi dan memaksakan kekuasaan dengan kekuatan dan pertumpahan darah.

Dari dua pilihan tersebut, Rasulullah memilih yang pertama kemudian mencetuskan apa yang kemudian dikenal dengan istilah Piagam Madinah. Piagam yang memuat sekitar 55 poin untuk mengakomodasi keragaman yang ada; mulai dari keberadaan Aus sampai bergabungnya kontingen Muhajjirin dari Makkah. Piagam yang telah diapresiasi oleh banyak pakar hukum dan pakar Filsafat pemikiran Internasional. Suatu Piagam yang menandai lahirnya sebuah Negara Islam yang oleh Muhammad Zafrullah Khan (Menteri Luar Negeri Pakistan dan Wakil Ketua Mahkamah Internasional) dinamai dengan “Republik Madinah.” Piagam yang oleh W. Montgomery Watt disebut sebagai “Konstitusi Madinah.” Sebuah konstitusi yang lahir jauh mendahului konstitusi tak tertulis yaitu konstitusi Magna Charta dari Inggris yang lahir pada 1215 M. Juga mendahului lahirnya konstitusi Amerika Serikat yang lahir pada 1787 M dan konstitusi Prancis yang muncul pada 1795 M. Karena konstitusi Madinah lahir dan ditandatangani oleh Rasulullah saw. pada 622 M.

Banyak pakar hukum Internasional dan pakar Filsafat pemikiran Internasional mengatakan, “Piagam Madinah telah mentransformasi kemanusiaan dari lingkup politik yang sempit, dari Negara yang dibangun berlandaskan keluarga, suku, dan dari Negara berkebangsaan dan bermadzhab tertentu menjadi Negara berbasis kemanusiaan dunia yang merangkul seluruh bangsa di dunia beserta keberadaan asal-usul ras, afiliasi kebangsaan dan akidah keyakinan mereka. Piagam Madinah sukses mewujudkan dasar-dasar perilaku saling mengenal dan hidup bersama satu sama lain.”

Bagaimana tidak diapresiasi, menurut Prof. H. Zaenal Abidin Ahmad di dalam bukunya “Piagam Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia, dari sisi muatan; Piagam Madinah telah memuat tentang pembentukan sebuah Negara-bangsa, Hak Asasi Manusia (HAM), persatuan seagama, persatuan segenap warga Negara, golongan minoritas, tugas warga Negara, melindungi Negara, pimpinan Negara, politik perdamaian dan lain sebagainya. As-Srrjani menambahkan, Piagam tersebut juga telah menentukan kriteria musuh bersama (common enemy), yaitu; kelompok pembangkang dan penyebar keburukan yang berupaya keras merongrong nilai-nilai kebaikan dan keadilan yang diusung oleh Nabi Muhammad saw. dan kaum mukminin.

Sementara itu, sejak para pendiri bangsa Indonesia mencetuskan dan lalu menyepakati Pancasila sebagai dasar Negara; sejak itu pula terjadi silang pendapat. Pertama, dahulu pada sila pertama terdapat tambahan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Tambahan tersebut tidak disepakati oleh non Muslim dari wilayah timur Indonesia, dan bahkan mengancam akan memisahkan diri jika tambahan tersebut dilanjutkan. Kedua, kalau pun tambahan tersebut disepakati, masih ada pihak yang menolak dengan argument; penerapan syari’at Islam tidak perlu menunggu kesepakan manusia.

Ketiga, dengan Pancasila yang ada sekarang ini (terutama sila pertama), tetap masih ada komponen anak bangsa yang menolak. Diantara alasan penolakan ini adalah terletak pada bagaimana para pemangku jabatan di Republik ini mengimplementasikan Pancasila. Dengan bahasa lain, di setiap rezim seolah tafsir atas Pancasila berubah-ubah. Dan dengan adanya perubahan tersebut tidak juga membuat Indonesia menjadi Hebat. Artinya, penyelenggara Negara belum berhasil menjadikan Pancasila (yang oleh pelopor Jaringan Islam Liberal [JIL] dianggap sebagai Kalimatun Sawaa’) sebagai dasar untuk menyelesaikan seluruh persoalan bangsa.

Bercermin pada sejarah Piagam Madinah dan sejarah Pancasila, kiranya perlu diambil titik temu yang positif demi kebaikan Negara Indonesia ke depannya. Penulis sebagai seorang muslim misalnya, tentu penulis ingin memberikan solusi yang penulis yakini benar menurut agama Islam. Artinya, biarkan Pancasila sesuai dengan sila dan isi yang disepakati. Akan tetapi, berkaca pada kesuksesan Piagam Madinah; Piagam Madinah sebagai tafsir atas Pancasila boleh dicoba karena Piagam tersebut telah terbukti dalam sejarahnya. Sebab, untuk saat ini; AS dengan komposisi utama agama Kristen, India dengan mayoritas Hindu dan Cina dengan populasi Buddha dan Konghucu terbesar di dunia, bukan Negara ideal bagi rakyat Indonesia.

Semangat Piagam Madinah adalah semangat untuk mengelola Negara secara bersama. Melibatkan seluruh komponen anak bangsa dan seluruh agama yang ada menuju perdamaian. Karena dengan perdamaian banyak krisis bisa dilewati. Bukankah dengan  kosa kata “damai” krisis yang dialami oleh Jepang berupa hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki bisa mereka atasi.

Kemudian untuk merawat perdamaian diantara sesama anak bangsa, perlu diciptakan tantangan bersama (common enemy). Walau penulis tidak suka dengan gaya common enemy Amerika, Amerika melakukan hal itu. Kita ingin menciptakan tantangan bersama tanpa perlu mengorbankan siapa pun. Termasuk merugikan pihak luar.

Sebaliknya, Negara Indonesia tidak akan pernah menjadi Negara hebat jika dikelola dengan cara politik belah bambu; satu diangkat dan yang satu diinjak. Mengangkat minoritas sambil menginjak mayoritas. Tidak bisa dengan politik pecah belah dan politik adu domba. Apalagi yang dipecah dan yang diadu adalah komposisi utama sebuah Negara, yaitu umat Islam. Wallahu a’lam bisshowaab ! []

Redaksi

Redaksi

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi masalahmu di sini? Klik bawah ini