Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

 Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Mungkin banyak dari kita yang bertanya-tanya. Kenapa kok ulama bisa berbeda pendapat terkait hukum fikih. Ulama A bilang ini hukumnya boleh, sedangkan ulama B bilang ini ga boleh. Padahal Al Qurannya satu, nabinya satu shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan ayat atau hadisnya sama tapi tetap saja produk hukum yang dihasilkan berbeda. Mengapa demikian?

Syaikh Dr. Musthofa Al-Khin dalam bukunya yang berjudul “Atsarul Ikhtilaf fi Al-Qawaid Al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf Al-Fuqoha” menyebutkan delapan sebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:

Pertama, perbedaan qira’at (bacaan). Al-Qur’an diterima oleh para sahabat tidak dalam satu tipe qira’at saja, melainkan dalam berbagai bentuk qira’at. Banyaknya tipe qira’at ini turut serta dalam menciptakan perbedaan pendapat ulama dalam hukum Islam, misalnya firman Allah SWT: 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ  

 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).

Imam Nafi’, Ibnu Amir, dan Kisa’i membaca lafadz “wa arjulakum” dengan i’rab nashab (fathah), sedangkan imam Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Hamzah membacanya dengan jar (kasroh), yaitu “wa arjulikum”. 

Mayoritas ulama fiqih mengikuti bacaan nashab, sehingga mereka menyatakan kewajiban membasuh kaki dalam wudhu, bukan mengusapnya. Sedangkan kelompok Syi’ah Imamiyyah memilih bacaan jar, dan menegaskan kewajiban mengusap kaki dalam wudhu. Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari berpendapat bahwa seseorang boleh memilih untuk membasuh atau mengusap kakinya ketika berwudhu’. 

Kedua, tidak mengetahui adanya hadits Nabi. Para sahabat berbeda intensitasnya dalam berinteraksi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga mereka berbeda dalam mengetahui hadits-haditsnya. Ada sahabat yang mengetahui banyak hadits seperti Abu Hurairah, sebaliknya ada sahabat yang hanya mengetahui sedikit hadits.

Perbedaan pengetahuan tentang hadits ini menyebabkan perbedaan pendapat ulama. 

Contoh kasusnya adalah Abu Bakar al-Shiddiq yang mana sebagian besar waktunya hidup membersamai nabi saja tidak mengetahui hadis terkait hak waris bagi seorang nenek, sampai sahabat Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah bersaksi bahwa Nabi memberinya bagian seperenam dari harta warisan. Umar bin Al-Khottob awalnya juga tidak tahu berapa takaran diyat bagi majusi sampai akhirnya Abdurrahman bin Auf menyampaikan kepadanya sebuah hadis bahwa kaum majusi disamakan dengan ahli kitab dalam masalah ini. Begitu pula dengan Abu Hurairah menghukumi batalnya puasa orang yang junub, sampai beliau rujuk dari pendapatnya tersebut setelah mendengar hadits riwayat Aisyah dan Ummu Salamah: 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُ فِي رَمَضَان.

“Bahwa pada pagi hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, lalu beliau melanjutkan puasanya.” (H.R. Bukhari Muslim).

Hal ini tidak hanya berlaku di kalangan sahabat saja, tetapi berlanjut ke masa tabi’in. Sebagaimana kisah imam Malik menolak permintaan khalifah Abu Ja’far Al-Manshur untuk menjadikan kitab Al-Muwatto’ sebagai satu-satunya pegangan hukum. Karena tidak semua hadis nabi dimuat dalam kitab tersebut.

Ketiga, ragu-ragu akan kesahihan sebuah hadits. Para ulama tidak langsung mengamalkan hadits yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu meneliti kesahihannya. Perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadis menyebabkan perbedaan dalam hukum fiqih.

Misalnya, Umar bin Khattab berpendapat bahwa orang yang junub tidak boleh bertayamum, dan tidak boleh shalat sampai dia mendapatkan air lalu mandi besar. Beliau tidak mengambil hadits riwayat Ammar bin Yasir yang menjelaskan keabsahan tayamum bagi orang junub, karena menurut Umar hadits tersebut tidak sahih. Umar juga meminta kepada Abu Musa Al-Asy’ari untuk mendatangkan saksi terkait hadis meminta izin masuk rumah sampai tiga kali. Hal itu dilakukan Umar untuk memastikan bahwa hadis tersebut benar sumbernya dari nabi. 

Begitu pula hukum puasa bagi orang yang makan atau minum di siang hari puasa karena lupa, di mana menurut mayoritas ulama puasanya tetap sah dan tidak wajib mengqadha, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:  

إِذَا أَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِيًا أَوْ شَرِبَ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

“Apabila seseorang yang berpuasa makan atau minum karena lupa, maka sesungguhnya itulah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan tidaklah ia berkewajiban mengqadha’ (menggantinya). (HR. Al-Daruquthni). 

Sedangkan Imam Malik tidak menganggap hadits di atas sebagai hadits sahih, sehingga ia berpendapat bahwa hukum puasa orang yang makan atau minum karena lupa adalah batal, dan ia wajib mengqadhanya. Imam Malik juga berpendapat makruhnya puasa enam hari di bulan syawal, karena hadis tentang hal itu tidak shahih menurut beliau.

Keempat, perbedaan dalam memahami dan menafsirkan nash (teks syar’i). Ulama kita semuanya sama-sama pakai dalil al-Quran dan al-Hadits. Namun bisa jadi dalam memahami nash para ulama berbeda beda. Sehingga akan muncul kesimpulan hukum yang berbeda beda.

Contohnya adalah masalah batal atau tidak batalnya wudhu seseorang yang bersentuhan dengan wanita ajnabi. Allah SWT berfirman:

أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا

“Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik.”(QS. An-Nisa: 43)

Ulama Hanafiyah memahami lafadz (أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء) dengan arti jima’. Maka apabila seseorang dalam keadaan punya wudhu dan menyentuh wanita ajnabi (non-mahram) maka sentuhan itu tidak membatalkan wudhunya. Sebab yang membatalkan wudhu adalah apabila sampai melakukan jima’ atau hubungan badan. Sementara ulama Syafi’iyah memahami lafadz (أَولاَمَسْتُمُ النِّسَاء) dengan arti menyentuh. Sehingga hanya dengan bersentuhan kulit saja dengan wanita ajnabi secara langsung maka wudhunya dianggap batal baik karena sengaja maupun tidak.

Kelima, lafadz yang sifatnya musytarok, yakni satu lafadz yang memiliki makna lebih dari satu. Hal ini membuat para ulama berbeda dalam memahaminya yang imbasnya adalah perbedaan produk hukum yang dihasilkan.

Contoh yang masyhur adalah lafadz quru’ dalam QS. Al-Baqarah ayat 228. Allah ta’ala berfirman: 

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa iddah perempuan yang dicerai suaminya, dan masih dalam usia menstruasi adalah tiga quru’. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna quru’. Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad – dalam satu riwayat – memilih pendapat pertama, yaitu quru’ berarti suci. Sedangkan Abu Hanifah memilih pendapat kedua, yaitu quru’ bermakna haid. 

Perbedaan ini memiliki dampak yang cukup signifikan dalam hukum Islam, terutama dalam dua masalah, yaitu: pertama, waktu selesainya iddah. Berdasarkan pendapat pertama, perempuan yang dicerai akan habis masa iddahnya ketika ia memasuki masa haid ketiga. Sebab, ia telah melewati tiga kali masa suci, yaitu: masa suci di mana ia dicerai, masa suci antara haid pertama dan kedua, serta masa suci antara haid kedua dan ketiga. Sedangkan, berdasarkan pendapat kedua, masa iddahnya akan selesai ketika ia memasuki masa suci keempat. Kedua, kebolehan menikah. Berdasarkan pendapat pertama, perempuan yang dicerai boleh menikah dengan laki-laki lain saat ia memasuki masa haid ketiga. Sedangkan, berdasarkan pendapat kedua, ia baru boleh menikah setelah memasuki masa suci keempat. Ketiga, hak waris bagi istri yang ditalak raj’i. Berdasarkan pendapat pertama maka hak warisnya gugur ketika memasuki masa haid ketiga. Sedangkan berdasarkan pendapat kedua maka hak warisnya baru gugur saat masuk masa suci keempat.

Contoh lain adalah lafadz al-yaum (اليوم). Lafadz ini bisa bermakna siang bisa juga bermakna malam. Hal ini menjadikan sebab perbedaan ulama terkait hukum menyembelih kurban di malam hari, apakah boleh atau tidak. Mayoritas ulama membolehkan menyembelih kurban di malam hari. Sedangkan imam Malik berpendapat bahwa hal itu dilarang.

Keenam, kontradiksi (pertentangan) antar dalil. Perlu diketahui bahwa maksudnya adalah kontradiksi di mata ulama mujtahid. Karena selama dalil tadi shahih maka tidak mungkin saling bertentangan karena berasal dari sumber yang sama, yakni Allah ta’ala sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 82.

Contohnya adalah hukum menikah bagi orang yang sedang ihram (muhrim). Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya haram berdasarkan hadis nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا يَنكح المحرم ولا يُنكح

“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan menikah dan menikahkan”. (HR. Muslim)

Mereka juga berdalil dengan hadis Maimunah yang dinikahi nabi saat kondisi halal (tidak muhrim). Sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa boleh menikah saat ihram berdasarkan hadis riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa nabi menikahi Maimunah saat sedang ihram. 

Contoh lain adalah masalah hukum menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat. Sebagian ulama ada yang merinci dengan berpendapat haram jika dilakukan di ruang terbuka jika tanpa satir (penghalang), dan boleh jika dilakukan dalam ruangan. Ada juga yang membolehkan hal itu secara mutlak (baik didalam maupun luar ruangan) dan ada juga yang mengharamkan secara mutlak.

Perbedaan ini terjadi karena ada dua dalil yang kontradiksi. Pertama adalah hadis nabi riwayat Abu Ayyub Al-Anshori yang isinya nabi melarang menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat. Kedua adalah hadis riwayat Ibnu Umar yang beliau pernah melihat nabi buang hajat sambil membelakangi kiblat.

Terkait masalah kontradiksi antar dalil ini para ulama punya metode dalam mengkompromikannya, yakni dengan metode menjamak, nasakh, dan tarjih, yang mana hal ini sudah masyhur dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqih dasar. 

Ketujuh, ketiadaan teks syar’i dalam sebuah masalah atau kasus. Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya teks-teks syar’i itu jumlahnya terbatas sedangkan masalah fikih terus bertambah seiring berkembangnya zaman. Maka tentu saja terjadi dimana ada sebuah kasus baru yang mana tidak ditemukan jawabannya dalam Al-qur’an maupun hadis, karena kasus ini baru terjadi setelah zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini tentu memicu terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait hukumnya.

Contohnya adalah kasus yang terjadi pada masa Umar dimana beliau memutuskan jika ada seorang lelaki yang menikahi wanita yang masih dalam masa iddah maka mereka berdua dipisahkan dan haram bagi lelaki tadi untuk menikahi wanita tersebut selamanya. Sedangkan Ali berpendapat boleh bagi lelaki tersebut boleh menikahi si wanita jika telah selesai masa iddah.

Sedangkan contoh di masa sekarang adalah hukum membeli emas dengan cara online atau kredit. Bagi ulama yang berpendapat bahwa emas adalah barang ribawi maka hukumnya haram. Sedangkan yang berpendapat bahwa emas saat ini statusnya bukan lagi sebagai barang ribawi maka hukumnya boleh. 

Kedelapan, perbedaan kaidah-kaidah ushul dalam istinbath hukum. Para ulama memiliki kaidah istinbath hukum masing-masing. Seperti imam Abu Hanifah menggunakan metode istihsan sedangkan imam Syafi’i tidak menggunakannya. Imam Malik menggunakan perbuatan penduduk Madinah sebagai salah satu metode istinbath, yang mana hal ini tidak digunakan oleh ulama lain. Begitu pula imam Syafi’i tidak berhujjah dengan hadis mursal (kecuali mursal dari Said bin Musayyib), sedangkan imam Malik dan Abu Hanifah menggunakannya sebagai hujjah.

Perbedaan dalam kaidah ushul ini tentu saja berdampak perbedaan produk hukum fikih yang dihasilkan. Misalnya masalah hukum menyentuh wanita non-mahram apakah membatalkan wudhu atau tidak. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Berdasarkan hadis riwayat Aisyah yang mengatakan bahwa nabi mencium istri-istri beliau kemudian langsung melakukan shalat tanpa mengulangi wudhu. Akan tetapi hadis tersebut dihukumi mursal oleh imam Syafi’i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. 

Contoh lain adalah hukum mengqodho’ puasa sunnah yang batal, apakah wajib atau tidak. Imam Abu Hanifah dan imam Malik berpendapat wajibnya mengqodho’ puasa sunnah yang batal seperti puasa wajib. Berdasarkan adanya hadis riwayat Aisyah bahwa nabi memerintahkan hal tersebut. Sedangkan imam Syafi’i berpendapat tidak wajib karena hadisnya mursal.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Referensi:

1. Atsar Al-Ikhtilaf fi Al-Qawaid Al-Ushuliyyah fi Ikhtilaf Al-Fuqaha

2. Al-Khulashah fi Ushul Fiqh

3. Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid

M Riezky Pradana, Lc., MH

M Riezky Pradana, Lc., MH

Ahli Fikih dan Dosen

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini