I’tikaf: Memalingkan Raga Memulihkan Jiwa

nidaulquran.id-Di penghujung bulan Ramadhan, tepatnya sepuluh hari terakhir, i’tikaf menjadi amalan yang mendapat perhatian lebih dari Rosululloh. Bukan sekedar menanti Lailatul Qodar, lebih dari itu i’tikaf adalah upaya menyegarkan jiwa, mengembalikan fungsi asalnya sebagai organ transenden penangkap cahaya ilahi.
Banyaknya interaksi dengan dunia luar, sering kali terbawa dan mengendap di dalam hati. Jika dibiarkan, semakin lama semakin menumpuk residu-residu dunia, jiwa semakin sesak, hingga tidak mampu memantulkan cahaya ilahi.
Namun jika hati segera disegarkan, ia akan ringan, bahagia serta mudah menerima cahaya ilahi. Salah satu penawarnya seperti yang dicontohkan nabi adalah i’tikaf.
I’tikaf adalah momen memalingkan raga dari seluruh kegiatan duniawi untuk memberi perhatian penuh kepada dimensi rohani. Bukan sekedar mengasingkan raga, melainkan memalingkan jiwa agar intens bermunajat dengan Alloh SWT.
اللبث في المسجد والانقطاع إلى الله فيه
Pemalingan raga hanya cara mengondisikan jiwa untuk memutus total dengan hal-hal duniawi yang mengganggu kelekatan dan kesyahduan bermunajat.
الاعتكاف قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بخدمة الخالق
Untuk mengkondisikan tujuan itu, aturan fiqih tidak memperkenankan seorang mu’takif (pelaku i’tikaf) keluar mesjid, mengobrol, bergurau, main HP, dll.
Amalan selama beri’tikaf adalah seluruh amalan yang dapat menguatkan relasi ruhiyah antara hamba dan Rabb, baik itu dengan tilawah Quran, sholat, do’a, dzikir, tafakkur, muhasabah, dsb. Kegiatan lainnya yang diperkenankan selama i’tikaf berupa kebutuhan asasi manusia seperti BAK, BAB, dsb., sebagaimana dijelaskan secara ringkas oleh Imam Abi Syuja’:
والاعتكاف سنة مستحبة وله شرطان: النية واللبث في المسجد. ولا يخرج من الاعتكاف المنذور إلا لحاجة الإنسان أو عذر من حيض أو مرض لا يمكن المقام معه. ويبطل بالوطء.
I’tikaf sendiri dimulai dengan terlebih dahulu berniat, seperti teks niat di bawah ini:
نويت الاعتكاف في هذا المسجد لله تعالى
Wallahu a’lam