Keteguhan Bilal dan Kedermawanan Abu Bakar
NidaulQuran.id | Saat cahaya Islam mulai dipancarkan dari seorang Rasul Allah, Bilal bin Rabbah termasuk orang pertama yang mendapatkan cahaya hidayah dari Allah. Ia melihat kebenaran atas apa yang dibawa oleh Rasulullah. Bilal memilih jalan itu dan berani menanggung apapun risiko yang akan dia hadapi.
Di bawah teriknya matahari, Bilal bin Rabbah disiksa oleh majikannya, Umayyah bin Khalaf. Bilal dibaringkan dalam posisi terlentang. Tangan dan kakinya diikat kuat di atas tanah. Belum cukup dengan itu, badan Bilal ditindih batu besar. Sebuah kejadian yang menyayat hati, Bilal disiksa oleh Umayyah dikarenakan keimanannya dan Umayyah merasa malu memiliki budak yang mengikuti Muhammad. Umayyah menyiksa Bilal sembari berkali-kali memintanya untuk kembali pada tuhan nenek moyang.
Baca juga: Melindungi Diri dari Kezaliman
Siksaan datang bertubi-tubi, namun siksaan yang ia hadapi justru menguatkan keimanannya. Tidak ada kata lain yang keluar dari lisan seorang Bilal selain menyebut nama Allah, “Ahad.. Ahad..”. Sungguh siksaan itu sama sekali tidak menggetarkan imannya. Dalam situasi itu Umayyah semakin geram, ia mencambuk Bilal yang masih dalam posisi tertindih batu. Banyak orang mulai ikut bergerombol. Heran dan penasaran dengan keributan yang terjadi. Orang-orang menatap ngeri atas apa yang terjadi pada Bilal.
Bilal terus mengucap nama Allah meski dengan suara lirih, namun Allah Maha Mendengar, mendengar suara lirih Bilal saat dera siksa Mu’awiyyah menimpanya. Kemudian Allah datangkan pertolongan melalui orang dermawan. Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalil Rasulullah yang memiliki hati selembut sutra terharu dengan keteguhan Bilal. Maka dia mendatangi Umayyah yang sedang murka. Abu bakar meminta Umayyah untuk menjual budaknya.
Sungguh indah yang Abu Bakar lakukan. Begitu cepat dia bisa memutuskan sesuatu dengan tepat. Bukan dengan balas marah pada Umayyah. Abu Bakar memilih untuk membebaskan Bilal sehingga Umayyah tidak punya alasan lagi untuk menyiksanya.
Terciptalah negosiasi yang luar biasa di antara keduanya. Sebuah seni komunikasi yang diterapkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.
“Juallah Bilal kepadaku !”
Umayyah menjawab, “Aku akan menjualnya padamu seharga lima uqiyah emas.”
Tanpa pikir panjang, Abu Bakar membayar dengan harga tersebut. Lalu Umayyah menimpali, “Seandainya engkau menawar dengan harga satu uqiyah emas, maka aku pasti akan memberikannya padamu.”
Mendengar pernyataan itu, tidak ada setitik pun penyesalan terbetik dalam wajah Abu Bakar. Beliau menjawab “Meski kau menjualnya dengan harga seratus uqiyah, aku tetap akan membayarnya.”
Umayyah gagal memunculkan penyesalan pada diri Abu Bakar karena membeli budaknya yang memalukan. Sekarang dia sendiri yang menyesal, mengapa tidak menjual Bilal dengan harga yang mahal.
Sungguh peristiwa yang memiliki banyak ibrah. Salah satu pelajaran yang bisa dipetik adalah harga yang disampaikan oleh Abu Bakar. Apakah Abu Bakar mengucapkan harga seratus uqiyah itu hanya untuk membuat Umayyah menyesali tipu dayanya?
Terlepas dari apa yang dimaksudkan dalam hati Abu Bakar. Bisa kita ambil pelajaran betapa harga keimanan itu tidaklah murah. Berapa pun harta yang ada di dunia ini, berapa pun banyak amal yang kita kerjakan, semua akan sia-sia tanpa ada keimanan dalam diri kita.
Baca juga: Keberuntungan dan Risiko dalam Perspektif Islam – Jawa
Bilal bin Rabbah dengan keteguhan hati. Tidak gentar sama sekali walau nyawa sudah di ambang kematian. Tetap teguh dan percaya diri terhadap keislamannya. Mendapat pertolongan di titik terpuruknya. Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan totalitasnya dalam Islam. Beliau memilih jalan dakwah ini dengan sepenuh hati. Tak hanya jiwa dan raga, bahkan harta pun tak tanggung-tanggung dia hibahkan untuk Islam.
Begitulah ketika nikmat iman dan Islam sudah menyelimuti dada. Semua yang ada di dunia ini tidak ada harganya. Bahkan mati pun bersedia. Buat apa takut mati padahal itu gerbang menuju yang dicintainya dibuka. Wallahu a’lam.[]
Redaktur: Luthfi Nur Azizah