Krisis Fatherless Di Indonesia Dan Refleksi Kisah Ibrahim Tentang Dialog Orang Tua Dan Anak

 Krisis Fatherless Di Indonesia Dan Refleksi Kisah Ibrahim Tentang Dialog Orang Tua Dan Anak

nidaulquran.id-Fenomena fatherless kian mencuat sebagai krisis senyap yang terjadi di Indonesia, bukan semata akibat perceraian atau kematian orang tua, hilangnya peran ayah dalam pengasuhan anak kini lebih kompleks yang berakar pada dinamika sosial-ekonomi seperti migrasi kerja, urbanisasi, hingga budaya patriarki yang mereduksi peran ayah menjadi sekadar penyedia materi. Data UNICEF menunjukkan bahwa 20,9% anak mengalami keterputusan emosional dengan ayah, dan BPS mencatat hanya 37,17% anak usia dini yang diasuh aktif oleh kedua orang tua. Dampaknya meluas—dari gangguan afektif hingga rendahnya prestasi dan kepercayaan diri. Meski psikologi modern seperti Erikson menekankan pentingnya kehadiran ayah, pendekatan ini kerap terjebak dalam kerangka individualistik yang mengabaikan dimensi spiritual dan nilai transenden.

Dalam konteks ini, al-Qur’an menawarkan paradigma pengasuhan yang integral—menggabungkan komunikasi afektif, dialog, pembinaan spiritual, dan keteladanan moral. Kisah dialog Ibrahim dan Ismail merepresentasikan model pengasuhan partisipatif yang berbasis nilai dan kepercayaan emosional. Sayangnya, dimensi pedagogis Qur’ani semacam ini jarang dijadikan rujukan dalam diskursus fatherless, yang masih dominan bertumpu pada perspektif struktural dan psikologis. Tulisan ini bertujuan mengkaji bagaimana nilai-nilai komunikatif-dialogis dalam al-Qur’an merespons fenomena fatherless kontemporer, sekaligus menawarkan paradigma pengasuhan Qur’ani yang profetik, partisipatif, dan spiritual.

Krisis Fatherless: Sebuah Kenyataan Sosial

Menurut Lamb, istilah fatherless atau father absence tidak hanya ketiadaan peran ayah secara fisik, tetapi juga ketidakhadiran secara emosional dan psikologis yang merusak kelekatan dan keseimbangan peran. Seorang ayah dapat tinggal serumah, namun tetap dianggap “tidak hadir” bila tidak terlibat secara afektif dan psikososial. Fenomena seperti ini mencerminkan krisis sosial yang berlapis, bukan gejala sesaat, melainkan hasil dari pola pengasuhan timpang dan tekanan struktural yang mengabaikan relasi emosional dalam keluarga.

Dampak dari ketiadaan peran ayah sangat nyata dalam perkembangan anak. Penelitian Bunyanul Arifin menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam enam peran—sebagai pemimpin, pelindung, pendidik, teman bermain, sahabat, dan penyedia ekonomi—berkontribusi besar terhadap kepercayaan diri, stabilitas akademik, dan kualitas relasi anak dalam keluarga. Lebih dari itu, kedekatan emosional dengan ayah juga berkorelasi positif dengan kepuasan hidup anak saat dewasa, yang menegaskan bahwa keterlibatan ayah bukan pelengkap, melainkan fondasi tumbuh kembang yang utuh.

Temuan ini sejalan dengan pandangan Islam bahwa ayah adalah pusat pembinaan spiritual dan moral dalam keluarga. Dalam Wawasan al-Qur’an, Quraish Shihab menegaskan bahwa peran ayah mencakup penanaman akhlak dan pendampingan hati, bukan sekadar penyedia ekonomi. Maka, krisis fatherless hari ini menjadi panggilan reflektif bagi ayah muslim untuk hadir bukan hanya secara fisik, tetapi secara nilai dan afeksi—menjadi figur yang menanamkan keberanian, akhlak, dan ketahanan jiwa anak dalam menghadapi dunia yang terus berubah.

Paradigma Qur’ani dalam Pengasuhan: Antara Realitas dan Wahyu

Pendekatan sosial modern seringkali mengabaikan dimensi moral dan spiritual yang justru menjadi fondasi relasi orang tua-anak, terutama dalam konteks masyarakat agamis. Al-Qur’an hadir sebagai sumber nilai etis yang menawarkan paradigma pengasuhan berbasis kasih, kesalingan, dan tanggung jawab ruhani. Fazlur Rahman menegaskan bahwa al-Qur’an harus dibaca sebagai visi moral kehidupan, bukan sekadar teks hukum; karenanya, kembali pada al-Qur’an menjadi langkah etis dalam merespons krisis pengasuhan masa kini.

Model pengasuhan Qur’ani tampak dalam kisah Luqman dan Ibrahim, yang menampilkan komunikasi yang partisipatif dan empatik. Luqman memberi nasihat penuh hikmah, sementara Ibrahim mengajak Ismail berdialog dalam keputusan berat, tanpa memaksakan kehendak. Menurut Quraish Shihab, relasi seperti ini dibangun atas dasar keteladanan, bukan dominasi. Maka, kedua kisah ini tidak hanya bersifat historis, tetapi mencerminkan etika pengasuhan Qur’ani yang relevan untuk memperkuat peran ayah di tengah krisis emosional dalam keluarga modern.

Refleksi Dialog Ayah dan Anak melalui Ayat dialog dalam Al-Qur’an

Kata “dialog” berasal dari bahasa Yunani dialogos yang berarti percakapan atau pertukaran ide. Dalam konteks pengasuhan, dialog bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan media pembentukan nilai, karakter, dan spiritualitas. Al-Qur’an memuat banyak kisah dialog edukatif, di antaranya 14 dialog ayah-anak, 2 ibu-anak, dan 1 guru-murid. Esai ini menyoroti dialog antara Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, dalam QS. As-Saffat:102, sebagai model pengasuhan Qur’ani yang berbasis partisipasi, kasih sayang, dan keterbukaan.

Dalam ayat tersebut, Ibrahim menyampaikan wahyu melalui frasa lembut: “Yā bunayya, innī arā fī al-manām…” yang secara bahasa menunjukkan afeksi dan kelembutan seorang ayah. Ia tidak memaksakan kehendak, tetapi justru meminta pendapat Ismail: “fanzhur māżā tarā?” Respons Ismail, “Yā abati, if‘al mā tu’mar…” menandakan ketundukan tanpa paksaan yang tumbuh dari pendidikan iman yang konsisten. Dalam konteks ayah modern yang sering hadir secara fisik namun absen secara emosional, model komunikasi Ibrahim memperlihatkan bahwa bahkan wahyu pun disampaikan dalam ruang dialog. Ini mengajarkan bahwa kesalehan tidak lahir dari otoritas sepihak, melainkan dari kepercayaan yang dibangun bersama.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa respons Ismail mencerminkan nilai tauhid yang telah ditanamkan sejak awal oleh Ibrahim. Ini menunjukkan pentingnya kehadiran ayah dalam membentuk akidah dan akhlak anak. Kisah ini bukan hanya teladan spiritual, tetapi juga kritik terhadap krisis pengasuhan saat ini. Ketika ayah hadir secara utuh—spiritual, emosional, dan intelektual—maka ikatan batin dan kepatuhan anak akan tumbuh secara natural. Model Ibrahim-Ismail membuktikan bahwa komunikasi yang dilandasi nilai ilahiah mampu membentuk karakter tangguh yang siap menghadapi ujian hidup, sesuatu yang makin langka dalam realitas keluarga kontemporer.

Kesimpulan

Krisis fatherless di Indonesia mencerminkan bukan hanya absennya sosok ayah secara fisik, tetapi juga krisis nilai dalam pengasuhan. Al-Qur’an menawarkan paradigma pengasuhan yang menekankan dialog, kehadiran emosional, dan penanaman nilai. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail memperlihatkan bahwa kesalehan dan karakter tumbuh dari komunikasi yang afektif, bukan otoritas sepihak. Maka, nilai-nilai Qur’ani tentang pengasuhan tidak hanya bersifat historis, tetapi menawarkan alternatif etis yang relevan untuk menjawab krisis pengasuhan dalam keluarga modern.

Referensi

Arifin, Bunyanul et al. (2017). Father Roles in Islamic Perspective on Islamic Senior High School in Jakarta. Journal of Child Development Studies. Vol 2, No 2.

Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat. (2024). Profil Anak Usia Dini 2024 (Report). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Fadhila, Jeni et al. (2025). Sistematik Literatur Review: Dampak Fatherless terhadap Kondisi SosioEmosional Anak. Corona: Jurnal Ilmu Kesehatan Umum, Psikolog, Keperawatan dan Kebidanan. Vol 3 No 2.

Lamb, Michael. (2010). The Role of the Father in Child Development. New Jersey: John Wiley & Sons.

Romadhona, Awwalia & Kuswanto, Cahniyo. (2024). Dampak Fatherles Terhadap Perkembangan Emosional Anak Usia Dini. As-Sibyan: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Vol 9 No 1.

Shihab, M Quraish. (1996). Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Pesoalan Umat. Jakarta: Mizan.

Shihab, M Quraish. (2002). Tafsir al-Misbah. Jakarta: Pustaka Lentera Hati.

Hafidz Iman

Hafidz Iman

Peminat Kajian Pemikiran dan Studi Islam, Mahasiswa Pascasarjana UGM

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini