Tarbiyah Qur’ani untuk Sang Anak

 Tarbiyah Qur’ani untuk Sang Anak

Oleh: Achyar Abduh Dzikron, Lc.

NidaulQuran.id | Rezeki memiliki anak merupakan sebuah karunia terbesar yang diberikan Allah untuk kedua orang tua. Karunia tersebut harus dirawat dan ditarbiyah dengan baik, supaya kelak menjadi anak yang shaleh sholehah dan bermanfaat bagi orang lain.

Al-Imam al-Ghazali menyatakan bahwa apabila seorang anak dididik untuk  berbuat baik sejak dini, maka ia akan tumbuh besar menjadi baik, bahagia di dunia dan akhirat. Orang tua serta pendidiknya mendapatkan pahala atas usaha mendidiknya. Namun bila anak dibiarkan terdidik dengan pola buruk, maka ia akan terbiasa melakukan keburukan, celaka di dunia dan akhirat. Orang tua dan pendidiknya juga ikut terkena imbas dosanya.

Bukan sepenuhnya kesalahan anak bila didapati anak nakal dan berani kepada orang tuanya. Sahabat Umar bin al-Khathab saat menjadi khalifah pernah menegaskan pernyataan  tersebut. Suatu ketika ada Seorang laki-laki datang menemui Sahabat Umar bin al-Khatab. Ia mengadu akan kenakalan anaknya. Lantas Sahabat Umar memanggil sang anak tersebut untuk dipertemukan dengan orang tuanya sekaligus dimintai klarifikasi.

Karena tidak ter-didik dengan baik, bukannya mengakui kesalahannya, si anak justru mencela orang tuanya karena telah menelantarkannya.

“Wahai Amirul Mukminin… Bukankah orangtua mempunyai kewajiban kepada anaknya?” tegas sang anak.

“Ya, benar,” ujar Khalifah Umar.

“Lantas apa itu kewajiban orang tua kepada anaknya?” si anak kembali bertanya kepada Khalifah Umar.

Atas pertanyaan perihal kewajiban orang tua kepada anaknya, Sahabat Umar mengatakan:

أَنْ يَنْتَقِيَ أُمَّهُ وَيُحَسِّنَ اسْمَهُ وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ

“Memilihkan ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang bagus, dan mengajarkannya Al-Qur’an”.

“Wahai Amirul Mukminin. Sungguh Ayahku ini tidak melakukan tiga hal tersebut. Ibuku adalah seorang budak dari keturunan Majusi. Kemudian Ayahku menamaiku “Kumbang”. Dan tidak pernah Ia mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” ujar si anak menceritakan kondisinya.

Mendengar penjelasan si anak tersebut, Sahabat Umar justru menegur keras orang tua si anak tersebut. Beliau memandang ke arah orang tua si anak dan memberinya nasihat:

جِئْتَ تَشْكُوْ عُقُوْقَ ابْنِكَ وَقَدْ عَقَقْتَهُ قَبْلَ أَنْ يَعُقَّكَ وَأَسَأْتَ إِلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُسِيْئَ إِلَيْكَ

“Anda mengadu kepadaku akan kenakalan anakmu, sementara anda sendiri telah durhaka kepadanya sebelum dia durhaka kepadamu. Anda telah memperlakukannya dengan buruk sebelum ia memperlakukan buruk kepadamu!”

Hal pertama yang ditegaskan oleh Khalifah Umar adalah memilih ibu yang baik,  karena ibu yang kuat dan sholehah akan melahirkan generasi hebat dan sholeh. Sebaliknya, jika ibu yang tidak dapat melaksanakan peranannya dengan baik, maka akan sulit membangun generasi yang hebat, yang bertakwa dan beriman. Waliyadzubillah justru dapat mengantarkan anaknya kedalam neraka.

Kemudian hal yang kedua yang ditegaskan Khalifah Umar bin al-Khattab adalah memberi nama yang baik. Sebab, memberi nama yang baik untuk anak adalah sebuah etika di dalam Islam, karena nama adalah ciri atau tanda, dengan nama dapat mengenal dirinya atau dikenal oleh orang lain. Para ulama bersepakat akan wajibnya memberi nama yang kapada anak laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu apabila seseorang tidak diberi nama, maka ia akan menjadi seorang yang majhul (tidak dikenal) oleh masyarakat.

Islam memberikan tata tertib dalam pemberian nama untuk seorang anak, di antaranya adalah memberi nama dengan Abdullah, Abdurrahman, karena keduanya sangat disukai oleh Allah. Dan disukai memberikan nama kepada seorang anak dengan nama-nama para nabi. Begitu juga termasuk yang paling disukai didalam Islam adalah  memberikan nama kepada seorang anak dengan nama-nama orang shalih dari kalangan kaum muslimin. Maka kewajiban bagi seorang bapak adalah memilih nama terbaik bagi anaknya, baik dari sisi lafadz dan maknanya, sesuai dengan syar’i dan lisan arab.

Dan hal yang terakhir yang ditegaskan oleh Khalifah Umar bin al-Khattab adalah tentang pendidikan Al-Qur’an pada anak, tarbiyah Qur’ani untuk keluarga kita. Lalu apakah keluarga Qur’ani itu? Adalah keluarga yang terdiri bapak, ibu dan anak-anaknya yang menerapkan nilai–nilai serta ajaran-ajaran yang ada dalam Al-Qur’an.  Keluarga yang mengimani, mengamalkan, membaca, mendalami, mentadaburi, mendakwahkan, dan meneruskan Al-Qur’an kepada anak-anak.

Di sana ada beberapa alasan penting mengapa kita harus menyiapkan generasi Qur’ani pada anak-anak kita, di antaranya:

Pertama: karena Al-Qur’an adalah Rahmat Allah yang paling mulia, karena itulah Allah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia.  Allah berfirman “ArRahman (Allah zat yang Maha Penyayang ) . Telah mengajarkan A Qur’an” ( Ar-Rahman:  1–2)

Kedua: Generasi yang cinta Al-Qur’an adalah generasi yang mampu meneladani Rasulullaah Shalallahu ’alaihi wa sallam. Karena akhlak Rasulullaah adalah akhlak Al-Qur’an.

Ketiga: Al Qur’an adalah hidayah. Petunjuk bagi hidup. Maka Allah titipkan anak pada kita sebagai berkah dari Allah Subhanahuwataala, maka ajarkan anak kita dengan Al Qur’an agar hidupnya selalu lurus.

Keempat: Karena orang tua yang memahami pentingnya Al-Qur’an bagi kehidupan anak dia akan berusaha menjadikan anak-anaknya cinta Al-Qur’an, cinta membacanya, cinta memahami isinya, cinta menghafal dan mengulang-ngulangnya, cinta mengamalkannya dan kelak cinta untuk mengajarkan dan berdakwah kepada Al-Qur’an.

Untuk itu, mari kita didik generasi kita untuk mencintai Al-Qur’an dan buatlah anak cinta untuk mengamalkan isi Al-Qur’an lalu  memdakwahkannya dalam kehidupan sehari hari. Karena bekal yang terbaik bagi anak adalah Al-Qur’an. Al Qur’an akan selalu menuntunnya untuk selamat dan sukses di dunia dan di akhirat.

Allah swt., berfirman:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. 2 : 2)

Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum (beberapa derajat) (karena komitmen dengan) Al-Qur’an, dan menyia-nyiakan kaum lainnya (karena meninggalkan ) Al-Qur’an.”

Anak kita  sebagai investasi dunia dan akhirat. Kita tentu ingat dengan sabda Rasulullah: “Jika seorang anak Adam mati, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR. Muslim)

Anak kita sebagai Sedekah Jariyah. karena anak sholeh itu hasil dari kerja keras orang tuanya. Oleh karena itu, Islam amat mendorong seseorang untuk memperhatikan pendidikan anak-anak mereka dalam hal agama, sehingga nantinya anak tersebut tumbuh menjadi anak sholeh. Lalu anak tersebut menjadi sebab orang tuanya masih mendapatkan pahala, meskipun orang tuanya sudah meninggal dunia.

Kiat membangun Jiwa Qurani pada anak

Membangun jiwa Qur’ani pada anak tidaklah mudah, tapi setidaknya ada beberapa ikhtiar yang dapat kita lakukan, di antaranya dengan menjadikan visi dan misi membentuk generasi Qur’ani adalah sebuah visi dan misi bersama di dalam keluarga. Kemudian, memahami keutamaan Al-Qur’an dan juga  memberikan  keteladanan yang baik  dari kedua orang tua pada anak. Lalu menjadikan rumah sebagai lingkungan Qur’ani. Terakhir, senantiasa terus berdoa meminta kepada Allah agar keluarga kita menjadi keluarga Qur’ani.   Wallohutaa’la a’lamu bisshowab. []

Redaksi

Redaksi

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi masalahmu di sini? Klik bawah ini