Bahaya Tersembunyi di Balik Pujian Manusia

 Bahaya Tersembunyi di Balik Pujian Manusia

Fatimah
(Guru Tahfidz dan PAI MI Terpadu Al-Barokah Tengaran)

nidaulquran.id-Asas dalam amal adalah kejernihan. Jernih dari semua tendensi, jernih dari semua maksud diri. Amal hamba hanya dimaksudkan untuk Rabb semata, bukan untuk pujian dan pamer diri.

Karenanya Allah membenci orang beramal yang tidak hanya mengharapkan wajah-Nya, tapi juga berharap kepada yang lainnya. Bahkan orang yang beramal bukan untuk-Nya termasuk kategori amalan sia-sia.

BUKAN UNTUK PUJIAN

Dalam ayat-Nya, Allah SWT beberapa kali membicarakan tentang asas amal seorang hamba, yakni ikhlas bukan untuk yang lainnya. Allah SWT berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ  وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5).

Nabi Muhammad SAW memperingatkan kita dari bahaya pujian yang berakibat sangat tercela, dalam hadits qudsi yang diriwayatkan Muslim disebutkan, “Allah berfirman, ‘Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku maka Aku akan meninggalkannya”, (artinya: tidak menerima amalannya, dan perbuatan syirik nya.)

Imam Nawawi menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh Shohih Muslim, 18: 155)

Begitu pula peringatan keras bagi penuntut ilmu yang hanya mengharapkan dunia dalam amalannya, disebutkan dalam hadits berikut ini,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridhoan Allah, (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali hanya untuk mendapatkan kesenangan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti,” (HR Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

IKHLAS SEJATI

Orang yang ikhlas beramal tentu nggak rela menduakan amalnya. Bahkan tidak ada ruang di hati orang yang ikhlas untuk menduakannya dengan selain Allah.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”

Antara ikhlas dan pujian tidak pernah akan berbarengan dan menyatu. Ibaratnya seperti air dan minyak yang ada jeda jelas diantara keduanya. Pun dengan ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan mengindikasikan ketidakikhlasan dalam amalnya.

Para ulama sangat berhati hati terhadap ketidakikhlasan dalam amal dan sangat menjaga niat amal mereka hingga benar-benar murni hanya untuk Allah.

Muhammad bin Syadzan contohnya, beliau menuturkan, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia”. Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.

Dzun Nuun Al Mishri pernah ditanya, “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” beliau menjawab, “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.

Ibnu ‘Atho’ dalam Hikam-nya juga mengungkapkan,

“Ketahuilah bahwa manusia biasa memujimu karena itulah yang mereka lihat secara lahir darimu. Seharusnya engkau menjadikan dirimu itu cambuk dari pujian tersebut. Karena ingatlah orang yang paling bodoh adalah yang dirinya itu yakin akan pujian manusia padahal ia yakin akan kekurangan dirinya.”

Lihatlah bagaimana Ibnu Mas’ud, sahabat yang mulia yang masih menganggap dirinya itu penuh ‘aib. Beliau pernah berkata, “Jika kalian mengetahui ‘aibku, tentu tidak ada dua orang dari kalian yang akan mengikutiku.”

Insan bertakwa pastinya menilai dirinya biasa-biasa saja. Bahkan menganggap diri penuh kekurangan, dan selalu merasa yang lain lebih baik darinya. Apabila nilai ini melekat pada diri seseorang niscaya dirinya akan terjauh dari sifat sombong dan gila pujian. Karena yang diingininya hanya ridha Allah dan kenikmatan bertemu dengan-Nya. Bukan pujian dan nama baik dari anak Adam di sekitarnya.

Redaksi

Redaksi

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini