Menanamkan Akhlak Malu pada Anak

 Menanamkan Akhlak Malu pada Anak

Source: pxhere.com

قال الله تعالى: فَجَاۤءَتْهُ اِحْدٰىهُمَا تَمْشِيْ عَلَى اسْتِحْيَاۤءٍ ۖقَالَتْ اِنَّ اَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ اَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَاۗ فَلَمَّا جَاۤءَهٗ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَۙ قَالَ لَا تَخَفْۗ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ (القصص: ٢٥)

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil dirimu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita mengenai dirinya, Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”. (QS. Al-Qashash: 25).

Ayat di atas adalah salah satu episode dari kisah terdamparnya Nabi Musa di negeri kaum Madyan, setelah melarikan diri dari kekejaman Fir’aun dan bala tentaranya di Mesir, sebagaimana diceritakan dalam beberapa ayat sebelumnya (QS. Al-Qashash: 21-24).

Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana ada sekumpulan penggembala yang sedang berdesakan memberi minum ternak mereka, dan ada di belakang orang banyak itu dua orang wanita yang sedang menahan diri dan ternak mereka, hingga para lelaki selesai. Kedua perempuan tersebut, yang ternyata adalah putri Nabi Syu’aib, tidak mungkin ikut bercampur baur dengan para lelaki itu.

Melihat kejadian tersebut, Musa merasa kasihan dan bertanya, “Apakah maksud kalian dengan berbuat begitu?”. Kedua wanita itu menjawab, “Kami tidak dapat meminumkan ternak kami, sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.”

Maka Musa pun menolong mereka berdua, dengan mengambilkan air dan memberi minum  ternak milik kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”

Sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir, setelah kedua wanita itu pulang dengan membawa ternak kambingnya, maka ayah mereka merasa heran karena keduanya kembali begitu cepat, lain dari biasanya. Lalu ayah mereka menanyakan apa yang dialami oleh keduanya, maka keduanya menceritakan apa yang telah dilakukan oleh lelaki asing itu terhadap mereka berdua. Kemudian Nabi Syu’aib mengutus salah seorang dari keduanya untuk memanggil Musa menghadap kepadanya.

Hingga datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan penuh rasa malu. Yakni seperti jalannya gadis pingitan, sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa perempuan itu datang berjalan kaki dengan kemalu-maluan seraya menutupkan kain bajunya ke wajahnya dengan sikap yang sopan.

Putri Nabi Syu’aib itu pun menyampaikan undangan ayahnya dengan tutur kata yang beretika. Ia tidak mengundangnya secara langsung. Bahkan sebagaimana tersurat dalam ayat di atas, ia mengatakan, “Sesungguhnya bapakku memanggil dirimu agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami.”

Dari sepotong kisah di atas, kita bisa mengambil pelajaran betapa kuat akhlaq Al-Hayā’ (malu) yang tertanam pada diri kedua perempuan itu, sebagai hasil dari tarbiyah ayah mereka, yaitu Nabi Syu’aib ‘alaihissalam.

Al-Hayā’ atau rasa malu sangat penting dalam Islam, bahkan ia merupakan satu cabang dari cabang-cabang keimanan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ‘alaihis shalatu wassalam bersabda, “Rasa malu adalah salah satu cabang dari cabang-cabang keimanan” (HR. Imam Muslim).

Rasa malu juga akan menjadi teman penjaga atas keimanan seseorang. Dan dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah ‘alaihis shalatu wassalam berkata, “Keimanan dan rasa malu selalu beriringan dan bersama. Jika tercabut salah satu dari keduanya, maka tercabut pula yang lainnya”. (HR. Al-Hakim).

Maka rasa malu seringkali hadir sebagai benteng terakhir bagi seseorang orang dari perbuatan dosa atau maksiat. Bahkan jika malu itu karena manusia, maka ia tetap berakibat baik, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Rasa malu itu baik seluruhnya” (HR. Muslim).

Sedangkan seseorang yang sudah kehilangan rasa malu, maka ia akan melakukan apapun, tanpa memperdulikan siapapun. Tidak ada lagi sesuatu yang akan menahannya. Sampai Rasulullah berkata secara satire untuk orang yang tidak punya malu, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari).

Hari ini kita sebagai orang tua kita dihadapkan pada masalah pergaulan bebas yang merusak akhlak dan masa depan anak-anak kita. Hal itu di samping karena faktor-faktor eksternal seperti media, ada juga faktor internal yang tak kalah besar pengaruhnya, yaitu pudarnya rasa malu yang ada pada mereka. Berikut ini cara utama dalam menanamkan rasa malu pada jiwa anak-anak kita:

Pertama, menanamkan rasa malu kepada Allah Ta’ala sebelum kepada manusia. Rasa malu dan muroqobatullah (merasa diawasi Allah) akan menjadi perisai yang kokoh dari dosa atau maksiat, meski tidak ada orang lain yang melihatnya. Jangan sampai mereka menjadi seperti orang-orang munafik yang Allah cela dalam Al-Qur’an, “Mereka bersembunyi karena malu dari manusia, akan tetapi mereka tidak bersembunyi karena malu dari Allah” (QS. An-Nisā’: 108).

Kedua, para orang tua dan pendidik harus bisa memberi keteladanan dalam menjaga rasa malu. Itu harus ditunjukkan kepada mereka, bahkan dalam masalah kecil kehidupan sehari-hari di rumah seperti; menutup aurat saat keluar rumah, menutup pintu kamar mandi saat buang air, tidak keluar kamar bertemu dengan anak-anak dengan menggunakan pakaian yang tidak pantas dilihat oleh mereka, apalagi mengumbar aurat utama.

Ketiga, mengingatkan dan menegur anak-anak (dalam usia sedini mungkin) saat membuka aurat utamanya (kemaluan) meskipun di dalam rumah, terutama di hadapan saudara atau orang tuanya yang berlawanan jenis.

Keempat, menjaga anak-anak dari pemandangan dan tontonan yang tidak mencerminkan rasa malu, seperti tayangan yang mengumbar aurat, apalagi yang berbau pornografi.

Kelima, mengajarkan kepada anak-anak Surat An-Nur yang berisi adab-adab pergaulan lawan jenis, terutama pada usia tamyiz atau maksimal 10 tahun, sebagaimana dicontohkan oleh para Salafus Shalih.

Keenam, menceritakan kepada anak-anak kisah-kisah yang menteladankan sikap malu seperti kedua putri Nabi Syu’aib di atas. Atau seperti Bunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dimana ketika hanya jenazah Rasulullah dan Abu Bakar yang dimakamkan di rumahnya, ‘Aisyah terbiasa tak memakai hijab di rumah. Namun ketika ‘Umar bin Khattab juga dimakamkan di samping suami dan ayahnya, ia mulai mengenakan hijab dan merapatkan kerudungnya. Ketika ditanya kenapa, ‘Aisyah menjawab, “Ia (‘Umar) adalah lelaki ajnabi (bukan mahram)”.

Seperti juga para perempuan Anshar di Madinah dulu kala, yang saking pemalunya, saat berjalan di tempat umum, mereka selalu berjalan menepi di pinggiran, melintas cepat ke depan, sambil menempel pada dinding-dinding bangunan. Meskipun, rasa malu itu tak menghalangi mereka untuk giat menuntut ilmu.

Atau seperti putri Nabi, Fathimah radhiyallahu ‘anha, dimana saat ia sakit sebelum wafatnya, ia menyampaikan kegundahannya kepada Asma’, “Demi Allah, aku sangat malu jika besok aku mati, tubuhku akan terpapar di hadapan para lelaki, di atas keranda mayat”.

Pada masa itu, keranda jenazah hanyalah sebuah papan yang terbuat dari kayu, tanpa penutup bagian samping dan atas. Maka meski sudah dibalut kafan dan ditutup kain, postur tubuh mayat, sedikit atau banyak akan terlihat. Inilah yang membuat Fathimah gundah.

Maka Asma’ pun membuatkan untuknya keranda kayu model Habasyah yang menyerupai kotak panjang, hingga mayat yang terbujur di atasnya tidak terlihat. Melihat kotak kayu itu, Fathimah pun berdoa, “Semoga Allah menutupi dosamu, sebagaimana usahamu menutupi diriku”.[]

Redaktur: Luthfi  Nur Azizah

Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

Pakar Pendidikan Islam | Alumni Universitas Islam Madinah | Direktur PPTQ Ibnu Abbas

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini