Al-Qur’an Diturunkan Bukan untuk Membuat Kita Susah
قال الله تعالى؛ مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ
“Kami tidak menurunkan Al-Qur`an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” (QS. Thaha: 2)
Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa suatu ketika orang-orang kafir Quraisy mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Tidaklah Allah menurunkan Al-Qur’an kepadamu kecuali untuk membuatmu susah.” Maka turunlah ayat di atas sebagai jawaban terhadap ejekan mereka.
Ayat mulia tersebut merupakan penegasan dari Allah Ta’ala bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan untuk membuat manusia susah, berat, sengsara, atau menderita. Justru sebaliknya, As-Sa’di mengisyaratkan bahwa mafhum mukholafah dari ayat ini adalah Al-Qur’an itu diturunkan untuk membuat manusia bahagia.
Baca juga: Kehilangan yang Tak Terlupa
Kesusahan bisa dihindari dan kebahagiaan bisa diraih jika manusia mau menjadikan Al-Qur’an sebagai tadzkirah, yaitu rambu-rambu peringatan dalam menjalani hidupnya. Sebagaimana Allah Ta’ala tegaskan dalam ayat setelahnya, “Melainkan Al-Qur’an sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah.” (QS. Thaha: 3).
Semua yang diperintahkan Al-Qur’an, sepahit apapun itu, pasti akan membuahkan kemaslahatan dan kebahagiaan abadi di surga. Sedangkan semua yang dilarang Al-Qur’an, semanis apapun itu, pasti berujung pada kemudharatan dan kesengsaraan tiada tara di neraka.
Karena Al-Qur’an diturunkan bukan untuk membuat sengsara, maka seorang hamba yang beriman seharusnya bahagia saat berinteraksi dengannya. Ia bisa bernikmat-nikmat dalam membaca surah demi surahnya, halaman demi halamannya, ayat demi ayatnya, bahkan kata demi katanya.
Sebalikanya, jika interaksinya dengan Al-Qur’an tidak membuatnya bahagia, tak betah lama saat membacanya, terasa penat saat mendengarnya, bahkan berat saat menghafalnya. Maka dari itu, berarti ada sesuatu yang salah dan ia harus mengevaluasi dirinya.
Bisa jadi interaksinya dengan Al-Qur’an selama ini dilandasi oleh niat yang salah. Kefasihan tilawah-nya masih dinodai riya’. Kemerduan qiraahnya masih berbalut sum’ah. Kelancaran hafalannya masih berkabut ‘ujub. Mungkin juga itu semua dilakukannya karena terpaksa atau karena orientasi duniawi.
Baca juga: Bersyukur Penutup Kufur
Tampaknya perasaan berat dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an disebabkan karena ia tak menyadari betapa besar keutamaan membaca, mendengarkan, menghafal, dan men-tadabburi ayat-ayat Allah Ta’ala. Mungkin juga kesadarannya itu telah lapuk oleh perjalanan masa.
Barangkali kenikmatan berinteraksi dengan Al-Qur’an belum kunjung terasa karena ia tak berusaha memahami arti dan kandungan maknanya. Sebenarnya keindahan Al-Qur’an sudah terasa hanya dengan membaca dan mendengar lantunannya saja. Tetapi keindahan itu tak seberapa jika dibandingkan dengan kenikmatan menyelami samudera maknanya yang menggugah, penuh inspirasi dan motivasi.
Bisa jadi kelezatan berinteraksi dengan Al-Qur’an belum kunjung terasa karena hatinya berpenyakit. Sebagaimana penafsiran Ibnu Taimiyah atas Surah Al-Waqi’ah ayat 79, “Makna-makna Al-Qur’an tidak akan bisa dirasakan kelezatannya kecuali oleh hati yang bersih, yaitu hati orang-orang yang bertakwa” (Majmu’ Fatawa: 13/242). []
Redaktur: Riki Purnomo