Wisuda 1.700 Santri Tahfidz di Festival Al-Qur’an V Klaten, Upaya Membentuk Pemimpin Bertauhid
Bisnis Waralaba (Franchise / حق الامتياز)

Oleh: Deni Muharamdani, Lc., M.H.I.
NidaulQuran.id | Ada berbagai produk bisnis di era globalisasi ini dan akhir-akhir ini sering terdengar istilah waralaba atau franchising. Model bisnis ini kini mulai marak karena selain biaya relatif murah juga tidak dipusingkan dengan memikirkan apa dan bagaimana yang harus dijual. Lebih dari itu, tidak perlu membuat brand khusus untuk usaha anda.
Dalam waktu yang relatif singkat sudah bisa memiliki unit usaha, dengan produk yang sudah dikenal masyarakat. Pada saat ini hampir semua cabang usaha menengah kecil menerapkan sistem waralaba ini, mulai makanan ringan, usaha printing, IT Trainning, pelatihan baca Quran, dsb.
Menurut Amir Karamoy (2006), franchise adalah pola kemitraan usaha antara perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan, dan pemasaran yang telah mapan. Hal itu disebut franchisor dengan perusahaan atau individu yang memanfaatkan atau mengguanakan merek dan sistem milik franchisor, disebut franchisee.
Franchisor wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada franchisee sebagai timbale balik, franchisee membayar sejumlah biaya kepada franchisor. Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi atau franchise.
Dari pengertian tersebut di dalam bisnis franchise terdapat tiga komponen pokok yaitu : Pertama, Franchisor, yaitu pihak pemilik suatu sistem bisnis tertentu. Kedua, Franchisee, yaitu pihak yang membeli atau menyewa sistem tersebut dari franchisor. Ketiga, Franchise, yaitu sistem bisnis itu sendiri.
Untuk mengetahui hukum fikih bisnis waralaba ini mengharuskan kita mengetahui hukum jual beli merk dagang. Dan untuk mengetahui hukum jual beli merek dagang perlu menelaah terlebih dahulu konsep hak ( نظرية الحقوق) serta konsep transaksi hak (نظرية الاعتياض عن الحقوق) di dalam Islam.
Merek dagangالعلامة التجارية berdasarkan literatur klasik dapat dikategorikan ke dalam hak ( كونه حقا مجردا ) yang menjadi milik seseorang, dapat dialihkan dari satu orang kepada yang lainnya. Merek dagang walaupun hanya sekedar hak tetapi setelah didaftarkan pada lembaga resmi negara dan diakui pemerintah dengan mendapatkan sertifikat maka berubah status menjadi hak yang terkait dengan benda ( الحق المستقرة في العين ) dan dikenal dalam dunia bisnis sebagai benda عين.
Setelah statusnya berubah menjadi benda عين maka selanjutnya dapat dikategorikan sebagai harta, hal ini sesuai dengan teorinya Ibn ‘Abidin :
المالية تثبت بتموّل الناس كافة أو بعضهم، والتقوّم يثبت بها، وبإباحة الانتفاع به شرعا.
“Status harta (maal) dapat ditentukan dengan adat yang berlaku, adapun nilai suatu benda dapat ditentukan dengan adat tersebut, dan juga dengan kehalalan pemanfaatannya.” Hal ini berlaku bagi merk dagang, setelah diakui secara resmi oleh negara maka merek dagang mempunyai daya nilai متقوّم serta memiliki kekuatan hukum.
Para sarjana fikih hampir sepakat kalau salah satu rukun transaksi baik jual beli ataupun sewa إجارة bahwa yang menjadi mustman مثمن (objek transaksi) haruslah berupa harta مال.
Dengan demikian transaksi merek dagang baik dengan jual beli ataupun dengan sewa adalah sah menurut hukum Islam. Kalau transaksi merek dagang sah menurut syariat maka transaksi waralaba pun menjadi sah. Karena bisnis waralaba tidak lain adalah transaksi merek dagang disertai dengan pelayanan lain seperti pelatihan, suplai bahan pokok, dan pengawasan dari pihak franchisor.
Dari pemaparan di atas maka takyif untuk franchise bisa masuk dalam akad jual beli ataupun sewa. Bila pemakaian merk dagang tersebut secara permanen maka masuk dalam kategori jual beli, apabila bersifat sementara masuk dalam akad sewa atau ijaroh. Oleh karena itu transaksi waralaba sah menurut hukum Islam.[]