Riset BRIN Ungkap Dampak Boikot Israel: Dari Konsumsi hingga Industri Bangkit
Lima Kekhususan Umat Muhammad SAW dalam Taharah

nidaulquran.id-Taharah, yang secara etimologi bermakna bersih atau suci, merupakan salah satu aspek fundamental dalam fiqih Islam. Dalam konteks ini, taharah mencakup berbagai praktik yang berkaitan dengan kebersihan dan kesucian, baik secara fisik maupun spiritual. Dalam Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222). Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya taharah dalam kehidupan seorang muslim.
Dalam berbagai kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer, pembahasan bab Taharah selalu menjadi pembahasan pertama sebelum pembahasan bab ibadah yang lain seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Hal ini menunjukkan betapa luar biasanya syariat Islam dalam memperhatikan kebersihan umatnya.
Praktik taharah dalam Islam tidak hanya berfungsi untuk memenuhi syarat sahnya ibadah, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan psikologis. Syaikh Hisyam Kamil dalam kitabnya al-Imta’ Syarh Matan Abi Syuja’ menyebutkan setidaknya ada empat hikmah disyariatkannya Thoharoh, yaitu:
- Sebagai bentuk ketaatan atau tunduk dan patuh atas perintah Allah Ta’ala (ta’abbudiy)
- Bersuci dan menjaga kebersihan sesuai dengan fitrah manusia
- Menjaga tubuh dari berbagai penyakit
- Agar saat melakukan ibadah kepada Allah ta’ala kondisi seorang mukmin dalam keadaan bersih dan suci
Dalam bab taharah, terdapat beberapa jenis kesucian yang perlu diperhatikan, yaitu taharah dari hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil dapat dihilangkan dengan berwudhu, sedangkan hadas besar memerlukan mandi besar (ghusl). Para ulama bersepakat bahwa wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat, yang menunjukkan betapa pentingnya taharah dalam ibadah sehari-hari.
Rasulullah saw bersabda:
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Allah tidak akan menerima shalat salah satu dari kalian jika kalian berhadats hingga kalian berwudhu.” (HR Bukhari Muslim).
Selain itu, taharah juga mencakup aspek kebersihan lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial umat Islam. Maka sudah selayaknya kaum muslimin senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian dirinya maupun lingkungan tempat tinggalnya karena suci atau bersih adalah bagian dari keimanan. Rasulullah saw bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Kesucian adalah setengah dari iman”. (HR Muslim).
Menurut Ibn Daqiq al- ‘Id dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah menjelaskan, at-thuhur atau kesucian pada hadits tersebut maksudnya adalah suci secara lahir maupun batin. Dengan tulisan tersebut, orang yang membaca tulisan yang terinspirasi dari hadits diharapkan bangkit kesadarannya dalam menjaga kebersihan, baik itu kebersihan diri maupun kebersihan lingkungan.
Dengan demikian, refleksi bab taharah dalam fiqih Islam menunjukkan bahwa taharah adalah elemen yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim. Tidak hanya sebagai syarat ibadah, tetapi juga sebagai upaya untuk mencapai kesehatan fisik dan mental, serta membangun masyarakat yang bersih dan sehat.
Kekhususan Umat Muhammad saw dalam Bab Taharah
Setidaknya ada lima hal dalam bab taharah yang menjadi kekhususan umat Muhammad saw yang tidak ada pada umat nabi-nabi sebelumnya sebagaimana yang dijelaskan imam al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya. Lima hal tersebut adalah:
1. Tayamum
Berkata imam al-Bajuri:
وهو (التيمم) من خصائص هذه الأمة، كما يدل عليه الحديث المذكور، وفرض سنة ست كما عليه الأكثرون
Tayamum adalah salah satu maqasid taharah yang baru disyariatkan pada tahun ke 6 hijriyah sebagaimana pernyataan imam al-Bajuri diatas. Tayamum sendiri tidak berfungsi mengangkat hadas akan tetapi hanya sebagai ‘tiket’ bolehnya seseorang melakukan ibadah seperti sholat dan thawaf.
Tayamum hanyalah bersifat taharah pengganti wudhu ketika seseorang tidak mampu berwudhu baik secara hissan (tidak mendapatkan air) maupun syar’an (ada air tapi tidak mampu menggunakannya) sehingga tidak boleh digunakan kecuali dengan syarat-syarat tertentu.
Rasulullah saw bersabda:
أُعْطِيتُ خَمْسَا لَمْ يُعْطَهُنَّ أحَدٌ مِنَ الأنبياء، قبلي: … وَجُعِلَت لي الأرض مسجدا وطَهُوراً فَأيُمَا رَجُل مِنْ أمتِي أدْرَكَتْهُ الصلاةُ فَلْيُصَل
“Aku diberikan 5 kelebihan yang yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku, yaitu: …Dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan alat untuk bersuci, maka dimanapun seseorang dari umatku menjumpai waktu salat hendaklah dia salat”. (HR. Bukhari Muslim)
2. Istinja’ menggunakan batu
Berkata imam al-Bajuri:
وشرع (الاستنجاء) مع الوضوء ليلة الإسراء، وقيل: في أول البعثة، وهو (الاستنجاء) بالحجر رخصة ومن خصائصنا
Istinja’ bisa menggunakan dua alat yakni air dan batu. Berbeda dengan tayamum yang mana tidak boleh dilakukan selama ada air, istinja’ boleh dilakukan meskipun ada air. Dalam madzhab Syafi’i disebutkan bahwa ada tiga tingkatan istinja’, yakni:
- Level pertama (paling utama) adalah beristinja’ dengan batu dahulu kemudian dituntaskan dengan air
- Level kedua adalah mencukupkan istinja’ dengan menggunakan air saja
- Level ketiga adalah beristinja’ hanya dengan batu saja
Perlu diketahui bahwa batu istinja’ disini bukanlah semata hanya batu yang biasa kita lihat. Akan tetapi batu yang dimaksud adalah batu syar’i (hajar syar’i) yang harus memenuhi empat syarat, yakni: bendanya suci, kering dan benda padat, permukaannya kasar sehingga mampu mengangkat najis, serta bukan benda yang dimuliakan (muhtarom) seperti makanan atau buku-buku syar’i. Sehingga dari kriteria tersebut tissue sudah bisa disebut sebagai batu syar’i dan sah dipakai untuk beristinja’.
3. Bersiwak
Berkata imam al-Bajuri:
وهو من الشرائع القديمة، كما يدل له قوله صلى الله عليه وسلم: ((هذا سواكي وسواك الأنبياء من قبلي))، أي: من عهد إبراهيم لا مطلقا، لأنه أول من استاك، ونص بعضهم على أنه من خصائص هذه الأمة بالنسبة للأمم السابقة لا للأنبياء، لأنه كان للأنبياء السابقين من عهد إبراهيم دون أممهم
Dari keterangan diatas dijelaskan bahwa meskipun siwak sudah ada sejak zaman nabi Ibrahim as akan tetapi syariat siwak hanya dikhususkan untuk nabi-nabinya saja dan tidak disyariatkan kepada umatnya. Berbeda dengan syariat siwak pada zaman Rasulullah saw yang mana syariat tersebut berlaku untuk beliau beserta umatnya.
Siwak sendiri memiliki banyak keutamaan. Selain bisa membersihkan gigi dan mulut, bersiwak juga bisa melipatgandakan pahala suatu ibadah. Para ulama menyebutkan bahwa shalat yang didahului dengan bersiwak lebih besar pahalanya dibandikan tidak bersiwak. Bahkan ada pendapat ulama yang mengatakan bahwa bersiwak bisa memudahkan proses sakaratul maut berdasarkan hadis nabi berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضي الله عنه عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا مُسْنِدَتُهُ إلَى صَدْرِي، وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ فَأَبَدَّهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَصَرَهُ. فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضَمْتُهُ، فَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَنَّ بِهِ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَنَّ اسْتِنَانًا أَحْسَنَ مِنْهُ، فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: رَفَعَ يَدَهُ -أَوْ إصْبَعَهُ- ثُمَّ قَالَ: فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى -ثَلاثاً- ثُمَّ قَضَى. وَكَانَتْ تَقُولُ: مَاتَ بَيْنَ حَاقِنَتِي وَذَاقِنَتِي.
Dari Aisyah raḍiyallāhu ‘anha, dia berkata, “Abduraḥmān bin Abū Bakar menemui Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sedangkan aku menyandarkan tubuh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam ke dadaku. Abduraḥmān datang memegang siwak basah yang ia gunakan untuk bersiwak. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam melihatinya terus-menerus. Aku pun lalu mengambil siwak itu lalu aku lembutkan, lalu aku arahkan kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersiwak dengannya. Aku belum pernah melihat Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersiwak lebih baik dari waktu itu. Tak lama selepas Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersiwak, beliau mengangkat tangan atau jarinya. Lalu beliau berkata sebanyak tiga kali, ‘Kepada kekasih Yang Maha Tinggi’. Beliau pun wafat.” Aisyah sering berujar, “Beliau wafat di antara perut dan daguku.”
4. Mengusap khuf
Berkata imam al-Bajuri:
شرع المسح على الخفين في السنة التاسعة من الهجرة في غزوة تبوك … وهو من خصائص هذه الأمة، ويدل له: قوله صلى الله عليه وسلم: ((صلوا في خفافكم، فإن اليهود لا يصلون في خفافهم))
Mengusap khuf adalah rukhsoh dalam Islam, bahkan hadis-hadis tentang mengusap khuf levelnya sudah mutawatir karena diriwayatkan lebih kurang tujuh puluh sahabat sebagaimana yang disebutkan oleh imam Hasan al-Basri. Sehingga siapa yang mengingkari kesunnahan ini bisa dikatakan sesat dan keluar dari barisan ahlus sunnah.
Dalam madzhab syafi’i mengusap khuf memiliki ketentuan khusus yang mana tidak semua alas kaki bisa disebut khuf sehingga sah untuk mengusapnya saat wudhu. Diantara syarat khuf adalah sebagai berikut:
- Alas kaki tersebut menutup seluruh area kaki yang wajib dibasuh saat wudhu
- Alas kaki tersebut tidak tembus air
- Alas kaki tersebut kuat dipakai berjalan untuk memenuhi kebutuhan selama sehari bagi yang mukim dan tiga hari bagi musafir
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kaos kaki atau sendal jepit dan yang semisalnya tidak bisa disebut khuf sehingga tidak sah mengusapnya sebagai ganti membasuh kaki saat wudhu.
5. Memanjangkan al-Ghurroh wa al-Tahjil
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
إِنَّ حَوْضِي أَبْعَدُ مِنْ أَيْلَةَ مِنْ عَدَنٍ لَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ، وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ بِاللَّبَنِ، وَلَآنِيَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ النُّجُومِ وَإِنِّي لَأَصُدُّ النَّاسَ عَنْهُ، كَمَا يَصُدُّ الرَّجُلُ إِبِلَ النَّاسِ عَنْ حَوْضِهِ ؛ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَعْرِفُنَا يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: نَعَمْ لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ مِنَ الْأُمَمِ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا، مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ
“Sesungguhya telagaku lebih jauh daripada jarak kota A`ilah dengan kota ‘Adn. Sungguh ia lebih putih daripada salju, dan lebih manis daripada madu yang dicampur susu. Dan sungguh, cangkir-cangkirnya lebih banyak daripada jumlah bintang. Dan sungguh, aku menghalau manusia darinya sebagaimana seorang laki-laki menghalau unta orang lain dari telaganya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Engkau mengenal kami pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Ya, aku mengenal. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat-umat lain. Kalian muncul dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil disebabkan bekas air wudhu.” (HR. Muslim)
Imam al-Nawawi berkata dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim:
وقد استدل جماعة من أهل العلم بهذا الحديث على أن الوضوء من خصائص هذه الأمة زادها الله تعالى شرفا وقال آخرون ليس الوضوء مختصا وإنما الذي اختصت به هذه الأمة الغرة والتحجيل
“Sejumlah ulama berdalil berdasarkan hadits ini bahwa (syariat) wudhu merupakan kekhususan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Ta’ala tambahkan sebagai kemuliaan umat ini (atas umat sebelumnya). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wudhu bukanlah kekhususan umat Muhammad. Yang menjadi kekhususan umat Muhammad adalah ghurrah dan tahjiil.”
Lantas, apa maksudnya memanjangkan al-ghurroh dan al-tahjil?
Syaikh Ahmad bin Umar al-Syathiri dalam kitab Nailur Roja menjelaskannya sebagaimana berikut:
الغرة: اسم لما لا يتم الواجب إلا به في الوجه
التحجيل: اسم لما لا يتم الواجب إلا به في اليدين والرجلين
Al-Ghurroh dari penjelasan diatas adalah bagian luar wajah yang wajib dibasuh saat wudhu agar seluruh area wajah dapat dipastikan terkena air secara sempurna. Sedangkan al-Tahjil adalah bagian diluar tangan dan kaki yang wajib dibasuh saat wudhu agar memastikan bagian tangan sampai siku dan kaki sampai kaki terbasuh secara sempurna.
Membasuh al-Ghurroh dan al-Tahjil disini hukumnya wajib sedangkan yang disunnahkan adalah memanjangkan basuhan keduanya agar cahaya putih yang disebabkan wudhu semakin banyak terlihat nanti pada saat hari kiamat. Dan keutamaan ini hanya khusus diberikan untuk kita umatnya nabi Muhammad saw. Walhamdulillah