Hakikat Puasa

 Hakikat Puasa

Allahuyarham KH. Muhammad Muinudinillah Basri

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(Al-Baqarah: 183)

Sudah wajar kaum muslimin berbahagia dalam menyambut dan menjalankan puasa saat Ramadhan, sebagai bulan yang penuh kemuliaan dan keutamaan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Hajj ayat 32: “Siapa yang mengagungkan syi’ar Allah merupakan akan timbul ketakwaan hati.” Puasa memiliki filosofi dan tujuan agung. Maka dari itu, alangkah baiknya kita pahamai filosofinya agar terefleksikan dalam kehidupan kita.

Puasa adalah ibadah dan sarana mencapai derajat takwa. Puasa bukan sarana untuk lapar, dahaga, atau kepayahan. Allah tidak menjadikan hal tersebut sebagai ibadah. Melainkan memberikan pahala atas lapar, dahaga, kepayahan, dan rasa sakit bila terjadi dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allah.

Rasululah Saw ketika diberitahu ada orang yang bernadzar puasa dan berada di terik matahari, beliau bersabda : “Allah tidak membutuhkan seseorang menyiksa dirinya.”

Selanjutnya, kalau puasa menjadi sarana, maka keberhasilannya diukur sejauh mana dapat mengantarkan pelakunya kepada tujuannya yaitu takwa kepada Allah swt. Takwa secara etimologi adalah menjadikan antara dirinya dan apa yang ditakuti dari Allah sebagai suatu pelindung. Untuk itu, takwa kepada Allah adalah menjadikan antara dirinya dan apa yang ia takuti dari Allah yaitu kemurkaan dan siksa-Nya, takut tidak mendapatkan ridha-Nya, dan surga-Nya. Oleh karena itu, takwa harus menjalankan perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan komitment dengan syariat-Nya.

Seseorang tidak akan mengharapkan dan takut kepada Allah Swt, kecuali jika ia yakin terhadap yang diharapkan dan yang ditakuti. Maka dari itu, takwa kepada Allah tidak akan terjadi kecuali adanya iman dan keyakinan terhadap Allah, ridha-Nya, neraka dan surga-Nya. Dari sini iman kepada Allah dan mengharapkan ampunan dan keridhaan-Nya harus menjadi motivasi dalam berpuasa. Rasulullah bersabda :

“Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan dasar iman dan mengharap (rahmat Allah) pasti diampuni dosanya yang telah lalu. Dan siapa yang melakukan itu pasti diampuni dosanya yang telah lalu. Siapa yang melalukan qiyam lailatul qadar dengan dasar iman dan mengharap (rahmat Allah) pasti diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari) 

Puasa melatih dalam menjadikan seluruh aktivitas tepat waktu sesusai aturan Allah. Makan, minum, dan melakukan aktivitas seksual sesuai dengan izin Allah. Ketika diizinkan makan dan diperintahkan, ia lakukan itu karena ibadah. Seperti ketika berbuka atau sahur, ketika ia harus berhenti maka dilakukanya sebagai aktivitas tepat waktu. Kemudian ketika mendengar adzan maghrib, ia segera berbuka dan tidak berani berbuka walaupun waktu maghrib hanya kurang beberapa detik. Hal itu dengan self control iman, walaupun ia sendirian.

Dari spirit tersebut, orang berpuasa adalah yang mampu meninggalkan semua yang haram, karena takut kepada Allah. Ia berpuasa dari makan minum yang halal, dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Selain itu, juga puasa dari yang diharamkan Allah selama-lamanya.

Indikator keberhasilan puasa adalah berhasil melakukan nilai-nilai takwa dalam segala lini kehidupan. Semangat menjalankan ibadah ritual dan ibadah sosial, berbuat ihsan kepada sesama, dan meninggalkan segala maksiat dan kemungkaran.

Bukan orang yang puasa, seorang yang dengan tenang melakukan korupsi, penipuan, penggelapan, minum-minuman keras, suka menggunjing dan mengumpat manusia. Rasulullah bersabda : “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makan dan minumnya (puasa). (HR. Bukhari)

Jadi, kalau orang yang berpuasa tapi kemaksiatan masih dijalankan. Bahkan kewajiban tidak ditunaikan, berarti tidak berhasil dalam puasanya. Untuk itu, jika menjalankan puasanya karena iman dan harapan rahmat Allah, maka pastilah ia juga menjalankan segala yang mendatangkan rahmat dan meninggalkan segala yang mendatangkan adzab.

Oleh sebab itu, sangat relevan ketika Allah selesai membicarakan puasa, membicarakan tentang haramnya suap kepada hakim—agar bisa memenangkan perkara di peradilan—dan makan harta saudaranya dengan batil. Melalui hal tersebut, seakan-akan Allah mengatakan kalau kalian benar-benar berpuasa karena takwa, janganlah kalian makan barang haram dengan cara apapun termasuk korupsi dan suap. Demikian puasa mengajari disiplin terhadap hukum halal haram, perintah larangan, dan menaati aturan . Wallahu a’lam. [Ed: Riki Purnomo]

KH. Muhammad Mu'inudinillah Basri

KH. Muhammad Mu'inudinillah Basri

Muassis PPTQ Ibnu Abbas Klaten

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini