Pemerintah dan Pesantren Satukan Langkah, Siapkan SDM Unggul Bangsa
Mencari Nafkah Bukan Sekadar Kewajiban, Tapi Jalan Menuju Surga

nidaulquran.id-Setiap orang memiliki berbagai kebutuhan dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Di antaranya adalah kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhannya, seorang muslim wajib berusaha dengan mencari nafkah yang halal. Dengan nafkah itu, ia dapat menghidupi dirinya, keluarganya atau orang yang berada dalam tanggungannya. Dengan mencari nafkah itu pula ia dapat memberi manfaat kepada orang lain dengan berbagi.
Pada zaman modern sekarang ini di mana ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat ternyata masih ada orang-orang yang beranggapan bahwa hidup itu hanya untuk beribadah secara ritual saja seperti shalat, dzikir, dan puasa. Ia tidak memahami bahwasanya ibadah itu luas sekali cakupannya.
Mencari nafkah untuk keluarga adalah amalan mulia sekaligus bernilai ibadah apabila diniatkan dengan benar dan dilakukan di jalan yang benar pula. Mencari nafkah merupakan implementasi dari salah satu kewajiban dan tanggung jawab seorang suami selaku pemimpin bagi keluarganya.
Banyak ayat al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk berusaha atau bekerja, di antaranya adalah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 10)
Ayat di atas memberikan motivasi umat islam agar berusaha, karena untuk mencapai suatu kemajuan dan kesuksesan haruslah dengan usaha, tidak mengherankan bahwa kesuksesan itu akan dicapai oleh orang yang bekerja keras dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada sesuai dengan keahliannya.
Bekerja termasuk ‘sunnah’ para Nabi. Nabi Daud ‘alaihissallam membuat baju besi dan menjualnya sendiri, Nabi Zakariya ‘alaihissallam adalah tukang kayu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam adalah pengembala kambing dan seorang pedagang yang menjualkan barang milik saudagar yang bernama Khodijah yang kelak menjadi istrinya (Suryani, 2012).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلِى وَاَبْدَاُ بِمَنْ تَعُوْلُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنِّى وَمَنْ يَسْتَعْفِف يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّه. (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hamzah al-Husaini dalam Asbabul Wurud menyebutkan latar belakang munculnya hadis di atas adalah berkaitan dengan kisah Nabi sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu. Hakim bin Hizam meminta sesuatu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam maka Rasulullah memberikannya hingga dua kali, yang mana yang terakhir disertai dengan sabdanya:
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu seperti barang yang manis dan menyenangkan, barangsiapa mengambilnya dengan sikap diri rendah hati, Allah akan memberkahi apa yang dia ambil. Barangsiapa yang mengambilnya dengan sikap diri berlebih-lebihan, Allah tidak akan memberkahi apa yang diambilnya, dan apa yang ia makan tidak akan mengenyangkannya. Sesungguhnya tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (Al Husaini, 1997).
Jika kita perhatikan sebab turunnya hadits di atas, kita akan mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mencela orang yang suka meminta-minta dengan bahasa yang halus (diplomatis). Dengan demikian, sikap menggantungkan hidup pada orang lain tanpa mau berusaha sendiri merupakan hal yang tidak dianjurkan dalam Islam. Jika banyak orang tidak mau berusaha dan bekerja maka akan berpotensi menimbulkan berbagai masalah di lingkungannya. Orang yang hanya berpangku tangan akan menjadi beban di lingkungan tempat tinggalnya.
Bekerja untuk mencari nafkah atau harta benda tidak selalu tercela sebagaimana anggapan sebagian orang. Sebaliknya, jika harta benda yang dikumpulkan susah payah kemudian dipergunakan untuk hal-hal kebaikan maka akan menjadi perbuatan mulia.
Buya Hamka dalam buku Tasawuf Modern menyatakan bahwa harta benda yang dipergunakan sebagaimana mestinya, dinafkahkan menurut yang mesti, harta benda tersebutlah yang akan menjadi tangga pertama menuju bahagia, yang empunya harta akan mengecap kelezatan, kemudian ia akan mengucap syukur karena memiliki harta (Hamka, 2017).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.” (HR. Ahmad).
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk bermalas-malasan dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, Islam mengajarkan bahwa orang yang bisa memberi adalah lebih baik bila dibandingkan dengan orang yang meminta-minta.