Mengurai Istilah ‘Sunnah Poligami’
Nidaul Quran | Sudah menjadi pengetahuan umum di tengah masyarakat kita, terutama kaum laki-laki, yaitu pemahaman tentang sunnahnya poligami. Karena poligami hukumnya sunnah, maka dengan sendirinya laki-laki dibenarkan berpoligami. Kira-kira seperti itu kesan yang ditangkap dari sebagian masyarakat. Apakah benar seperti itu?
Sebelum merespon pertanyaan di atas, alangkah baiknya kita periksa dulu istilah itu. Kebiasaan memeriksa di awal adalah tradisi yang diturunkan para ulama kita, supaya tidak disalahpahami oleh penerima dan penutur sendiri.
Yang patut diwaspadai dari setiap kata adalah ruang lingkup makna yang terkandung pada lafdz (kata). Suatu kata (lafdz) adakalanya digunakan untuk satu makna, adakalanya digunakan untuk banyak makna (musytarok). Terhadap kata yang memiliki satu makna, kekhawatiran disalahpahami tidak begitu besar. Lain halnya dengan kata yang digunakan untuk banyak makna (musytarok), peluang disalahpahami cukup besar.
Baca juga: Al-Qur’an Diturunkan Bukan untuk Membuat Kita Susah
Salah satu kata yang memiliki banyak makna dan berpeluang gagal dipahami adalah istilah ‘sunnah’. Sunnah sebagai sebuah istilah telah dimaknai secara berbeda oleh sarjana Islam. Sunnah menurut ahli hadis berbeda dengan sunnah yang dimaksud ulama fikih, berbeda juga dengan yang maksud ulama ushul fiqih.
‘Sunnah’ menurut ahli hadis adalah “ما أضيف إلى النبي”, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi, apa yang pernah diucapkan nabi, yang pernah didiamkan nabi, termasuk syamail nabi, semuanya disebut sunnah. Mudahnya ‘sunnah’ adalah semua informasi tentang nabi, apapun itu. Dalam konteks ini sunnah sama dengan hadis. Makna ini berbeda dengan istilah sunnah yang dibicarakan di kalangan fuqoha (ahli fikih) yang memiliki kepentingan berbeda.
‘Sunnah’ menurut ahli fikih adalah tindakan yang diberi pahala saat dikerjakan dan tidak berdosa kalau ditinggalkan. Lalu bagaimana dengan persepsi masyarakat tentang sunnahnya poligami? Tidak ada yang salah dengan persepsi itu jika yang dimaksud dengan sunnah adalah informasi perihal menikahnya nabi lebih dari satu istri sepeninggal bunda Khadijah. Yang menjadi keliru ketika menganggap semua yang dikerjakan nabi serta-merta boleh dikerjakan umatnya, termasuk poligami.
Mestinya yang menjadi panduan bagi umat adalah aturan fikih yang dirumuskan para ulama, setelah menimbang sekian banyak dalil, tidak hanya satu. Fikih bekerja menyaring mana tashorruf nabi (tindakan) yang harus diamalkan umatnya dan mana yang tidak. Apa yang dikerjakan nabi hukumnya bisa sunnah, bisa wajib, bisa makruh, bahkan bisa haram bagi umatnya, tergantung kondisi objektif yang dihadapi si pengamal.
Yang tidak kalah penting diperhatikan adalah keterpaduan antara hukum wadh’i dan hukum taklifi dalam timbangan adab sebagai kesatuan bersyar’iat. Keterpaduan ini adalah paket komplit yang akan memandu moral seorang mukallaf (balig, berakal).
Baca juga: Sinergi Ayah dan Ibu
Berpegang kepada hukum wadh’i tanpa dipadukan dengan hukum taklifi dalam timbangan adab menjadikan seseorang tidak beradab. Dia hanya akan mengejar keabsahannya saja tanpa memperhatikan aspek hukum taklifi dan tuntunan adab, sehingga tidak jarang setelah poligami kehidupannya bukan bertambah baik, yang terjadi justru sebaliknya.
Padahal kalau melihat catatan fikih, poligami sebagaimana kegiatan mukallaf lainnya, hukumnya bisa sunnah, wajib, makruh, bahkan haram. Dengan demikian poligami tidak selalu identik dengan sunnah, sehingga tidak dengan sendirinya boleh bagi setiap orang.
Pemahaman yang tidak memadai tentang sunnah berakibat buruk pada tindakan yang dipilih. Akibatnya cukup akrab muncul di telinga kita ungkapan-ungkapan yang tidak tepat seperti, “emang poligami harus izin?”, “tanpa izin pun poligami tetap sah”, “kan sah cerai dalam keadaan haid”, dan masih banyak lagi. Walhasil, alih-alih mencontoh nabi namun yang ada adalah menuruti hawa nafsu dengan kemasan sunnah. Sunnah menjadi bungkus dari nafsunya dan itu berhasil.
Wallohu ‘alam.[]
Redaktur: Luthfi Nur Azizah