Penelitian dalam Tradisi Islam: Studi Kitab Al-Luma’ (1)

 Penelitian dalam Tradisi Islam: Studi Kitab Al-Luma’ (1)

nidaulquran.id-Imam Syairozi dalam salah satu karya besarnya, yakni Al-Luma’, mengetengahkan salah satu tema penting dalam konsep ilmu pengetahuan (nadzhoriyah ma’rifah), yaitu tentang nadhor, atau dalam istilah Arab kontemporer familiar disebut dengan Bahts, yang diterjemahkan menjadi penelitian.

Disebutkan di dalam kitabnya, bahwa nadhor yang shahih dibangun di atas tiga syarat. Pertama, peneliti memiliki kepakaran yang mumpuni dalam subjek material yang diteliti (Kamilul Ahliyah). Kedua, sumber data yang tepat agar melahirkan premis yang benar (Dalil). Ketiga, metode yang sesuai dengan subjek penelitian.

Ketiga unsur nadhor ini sebenarnya beririsan dan memiliki kesamaan dengan metodologi lainnya di luar Islam. Yang berbeda di antara keduanya adalah Mahodir Bahts, atau istilah Imam Syarozi sebagai dalil, dan kriteria peneliti.

Dalil atau sumber premis yang dimaksud Imam Syairozi ialah yang beroposisi biner dengan syubhah dalil, dimana ia menampakkan diri sebagai dalil padahal nyatanya bukan.

Dalam Islam, saluran ilmu sangat kaya dan komprehensif. Dengan premis bahwa ilmu berasal dari Allah dan ditangkap oleh jiwa yang kreatif, maka ilmu dapat disalurkan melalui banyak saluran. Saluran ilmu itu dapat dirangkum ke dalam tiga, yakni:

  1. Khobar Shodiq, yaitu berita yang benar.
  2. Al-Hawasul Khoms, ialah panca indera.
  3. Aqal, termasuk di dalamnya organ ruhani berupa intuisi (irfani).

Perpaduan dari ketiga saluran ilmu di atas menghasilkan premis-premis pasti benar (muqoddimah yaqiniyah), yang berjumlah 6 berdasarkan Sullamul Munawuroq, yang akan membentuk Qiyas Burhan.

Fakta ini menjadi satu bukti kuat jika metodologi ilmiah bukan barang baru dalam tradisi keilmuan Islam. Ia telah eksis jauh sebelum Francis Bacon mengenalnya. Bahkan metodologi penelitian ulama lebih canggih, selain dibangun di atas yakin (tidak berdasar spekulasi filosofis), ia pun dibangun di atas intuisi (wahyu, ilham, sudden vision, iluminasi intuitif) dll, yang memiliki kadar sangat tinggi.

Ini baru merujuk kepada kitab Al-Luma’ yang ada di abad ke-5 H. Belum lagi jika mundur ke belakang, maka kemunculannya dapat ditandai sejak abad pertama Hijriyah.

Para sarjana muslim sejak awal telah berdaulat dan mandiri dengan metodologinya. Bukan hanya berdaulat, namun juga stabil dan konsisten.

Stabilitas metodologi Islam tidak lepas dari fakta bahwa Islam dibangun di atas ilmu (yaqin), kebenaran, dan hakikat. Islam tidak dibangun di atas dugaan maupun spekulasi filosofis yang berpotensi berubah-ubah seiring ditemukannya data baru.

Ilmu atau yakin seperti yang didefinisikan Imam Syairozi dan sarjana muslim lainnya adalah mencerap sesuatu di luar pikiran (ma’lum) sebagaimana adanya (nafsul amri).

معرفة المعلوم على ما هو عليه

Karena ilmu adalah cerapan ma’lum, maka ilmu datang belakangan.” Eksistensi ma’lum mendahului ilmu. Ilmu mengikuti ma’lum.

العلم تابع للمعلوم

Tibanya jiwa pada yakin akan membawa kepada kepastian.” Kepastian membawa pada ketenangan. Jika keyakinan ini disertai amal dhohir maka terwujudlah kebahagiaan.

Kegagalan pengetahuan Barat mencapai yaqin mengakibatkan mereka terus berproses dan mencari hakikat dan kebenaran tiada henti (shoiruroh).

Kondisi ini melahirkan kegalauan dan kegelisahan hidup. Menjalani hidup tanpa dilandasi yakin dan kepastian mengakibatkan kegalauan akut, yang berujung pada ketidakbahagiaan (syaqawah).

Wallahu a’lam.

Deni Muharamdani, M.H.I.

Deni Muharamdani, M.H.I.

Pendidik KMI & Ma'had 'Aly Ibnu Abbas

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini