Peri Asbabun Nuzul Pembacaan Bersanad

 Peri Asbabun Nuzul Pembacaan Bersanad

Source: apkpure.com

Nidaul Quran | Gairah pembacaan asbabun nuzul terus bergulir sampai hari ini. Bahkan dalam perkembangannya, tema ini semakin hangat dibincangkan. Jauh sebelumnya, para salaf telah mempercakapkan asbabun nuzul dan perannya dalam skema penafsiran maupun istinbat ahkam. Hal ini selanjutnya kita sebut “pembacaan bersanad”. 

Produk-produk tafsir maupun hukum yang terkumpul dalam berjilid-jilid kitab merupakan salah satu bukti warisan para ulama yang berhasil menempatkan asbabun nuzul. Ada yang berbeda dari pembacaan kontemporer (qiroah mu’ashiroh) atau pembacaan progresif. Pembacaan baru ini menempatkan asbabun nuzul bukan hanya sebagai latar belakang diturunkan ayat (munasabah nuzulul ahkam), lebih dari itu sebab nuzul ditahbiskan sebagai sebab atau illah diturunkan ayat.

Setiap ayat pasti terikat dengan spesifik peristiwa dimana ayat diturunkan, ayat hanyalah sebagai respon sesaat. Dalam sebagian pembacaan hermeneutika, asbabun nuzul dijadikan sebagai konteks mikro di samping konteks makro berupa kondisi masyarakat Arab secara umum. Penggunaan asbabun nuzul seperti ini memiliki banyak konsekuensi negatif untuk tidak mengatakan fatal dan berbahaya.

Baca juga: Keberkahan Ilmu Tergantung Adab pada Guru

Konsekuensi pertama, kandungan ayat menjadi terbatas kepada sebab saja sehingga tidak bisa digunakan untuk peristiwa-peristiwa lain yang ada setelahnya, karena sedari awal ayat sudah “dikunci” pada sabab nuzulnya.  Kedua, hal ini yang mengkhawatirkan yaitu akan menggerus secara perlahan ajaran-ajaran Islam yang sudah mapan (tsawabit). 

Jika konstruk berpikir ini terus dipertahankan, bukan tidak mungkin yang tersisa dari ajaran Islam tinggal sedikit, atau bahkan tidak tersisa. Kalau pun tersisa tinggal mutaghayyirot saja, yang memang sejak awal diatur untuk bisa adaptif terhadap pergeseran zaman. Ada yang luput dari pantauan mereka terhadap fakta-fakta seputar asbabun nuzul. Setidaknya ada tiga catatan perihal ini; 

Pertama, hadis-hadis tentang asbabun nuzul rata-rata hadis ahad. Tidak ada yang keliru dengan hadis ahad, yang menjadi keliru ketika hadis ahad digunakan untuk “menjegal” kinerja suatu ayat (qoth’i tsubut). Sebuah “pertaruhan” yang kelewat berani. Anehnya lagi, Al-Asmawi (pemikir Mesir) meragukan otentisitas hadis ahad, justru menerima dan memaksakan pemakaian asbabun nuzul yang juga hadis ahad. Dengan begitu, ia telah meruntuhkan bangunan teori yang ia bangun sendiri.

Kedua, jumlah asbabun nuzul sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah ayat Al-Qur’an. Dalam catatan Al-Wahidi jumlah asbabun nuzul sekitar 472 ayat, dan itu setara 7,5% dari seluruh ayat Al-Qur’an. Sedangkan menurut penelusuran Imam Suyuthi, sabab nuzul sekitar 888 ayat, atau sekitar 14% dari total ayat. Bagaimana ia bisa menyimpulkan historisitas ayat-ayat Al-Qur’an tarikhiyyah dengan modal asbabun nuzul sangat sedikit dibanding seluruh ayat. Yang benar asbabun nuzul adalah bagian dari cakupan ayat yang turun.

Ketiga, dalam menentukan sebab turun ayat pun sering berbeda di antara para penafsir. Satu penafsir memilih sebab turun ayat yang berbeda dengan penafsir lainnya. Fakta ini semakin menambah daftar problem epistemologi pembacaan kontemporer terhadap asbabun nuzul. Model pembacaan ini tidak dikenal dalam tradisi pemikiran Islam, serta tidak terhubung secara sanad kepada para ulama hingga ke rosul, padahal sanad bagian dari berislam.

(الإسناد من الدين لو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء)

Pembacaan bersanad yang dipraktikkan para ulama berangkat dari aksioma yang menyatakan, Al-Qur’an adalah panduan hidup yang universal dan general, diturunkan untuk seluruh manusia sepanjang zaman (صالح لكل زمان ومكان). Ayat-ayat Al-Qur’an sedari awal sudah lengkap di langit bumi (samaud dunya) sebelum diturunkan secara bertahap ke bumi. Kelengkapannya tidak dipengaruhi oleh konteks sosial tertentu.

Para ulama memahami ayat-ayat Al-Qur’an dalam sketsa ini, sehingga tetap berdimensi global dan universal tidak partikular. Selanjutnya para mufassir dan ushuli menjadikan asbabun nuzul sebagai penjelas makna ayat bukan sebagai illah. Asbabun nuzul hanya bagian (juz’i) dari keumuman ayat (kulliyy). Illah hukum tidak pernah diambil dari asbabun nuzul.  Dengan kata lain, asbabun nuzul hanya satu contoh dari penggunaan ayat untuk diterapkan pada contoh-contoh lainnya.

Baca juga: Al-Qur’an Diturunkan Bukan untuk Membuat Kita Susah

Sejalan dengan itu, kaidah yang dipilih mufassir dan ushuli adalah, standar operasional ayat yakni generalitas lafaz (kata) bukan partikularitas kejadian (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب). Ayat-ayat Al-Qur’an akan terus bekerja menjawab segala tantangan zaman. Model epistemik seperti ini selain tetap produktif, juga melindungi ajaran-ajaran pokok Islam dari berbagai perubahan. 

Menginginkan Islam sesuai dengan tuntutan zaman adalah baik, namun mesti dimulai dari kesepakatan intelektual para ulama pewaris ilmu nabi, sebagai aksioma epistemologi. Bagi sebagian kalangan, pendekatan para pewaris nabi ini dikatakan jumud atau usang. Padahal di balik itu ada kekuatan epistemologi yang kokoh dan mengakar, dan yang terpenting bersanad. Wallohu a’lam

Redaktur: Ni’mah Maimunah

Deni Muharamdani, M.H.I.

Deni Muharamdani, M.H.I.

Pendidik KMI & Ma'had 'Aly Ibnu Abbas

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi masalahmu di sini? Klik bawah ini