‘Unik’ nya Tayamum

 ‘Unik’ nya Tayamum

nidaulquran-Tayamum adalah salah satu maqasid thoharoh yang juga menjadi salah satu kekhususan umat Muhammad saw sebagaimana sabda beliau:

وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

“Dijadikan bagi kami (umat Nabi Muhammad saw) permukaan bumi sebagai thahur/sesuatu yang digunakan untuk besuci (tayamum) jika kami tidak menjumpai air.” [HR. Muslim]

Hal ini menunjukkan bahwa syariat tayamum baru diturunkan sejak zaman nabi Muhammad saw, lebih tepatnya diturunkan pada tahun 6 hijriyah. Tentu hal ini membuat kita bangga dan bersyukur menjadi umat nabi Muhammad saw.
Berbeda dengan wudhu, tayamum adalah thaharah yang sifatnya alternatif atau pengganti yang hanya boleh dilakukan dalam keadaan tertentu yang mana ulama merumuskannya dalam satu kalimat yaitu:

العجز عن استعمال الماء حساً أو شرعاً

“Tidak mampu menggunakan air baik secara hissan (benar-benar tidak ada air) atau syar’an (ada air tapi tidak bisa menggunakannya).”

Sebagai thaharah pengganti wudhu, tayamum memiliki beberapa ‘keunikan’ yang berbeda dengan wudhu, diantaranya sebagai berikut:

a. Tayamum tidak menghilangkan hadas

Tayammum itu seperti ‘tiket’ yang diberikan syariat kepada kita sehingga kita boleh melakukan salat atau yang semisalnya seperti tawaf dan menyentuh mushaf. Akan tetapi bukan berarti orang yang bertayamum status hadasnya hilang. Berbeda dengan wudhu yang fungsinya bisa menghilangkan hadas kecil.

Hal ini berdasarkan hadis nabi yang mengisahkan sahabat Amr bin Ash memimpin salat subuh bersama sahabat lain saat peristiwa perang Dzatu As-Salasil yang dimana saat itu beliau dalam keadaan junub lalu bertayamum karena kondisi air yang sangat dingin. Hal ini pada akhirnya diketahui nabi dan nabi bertanya kepada Amr, beliau bersabda:

يا عمروُ صليتَ بأصحابِك وأنت جنبٌ ؟

“Wahai Amr, apakah benar engkau memimpin shalat dalam keadaan junub?” [HR. Abu Daud]

Dari hadis ini nabi menyebut Amr masih dalam kondisi junub meskipun beliau telah bertayamum untuk memimpin salat.

b. Tayammum hanya bisa digunakan untuk satu kali salat fardhu ‘ain

Berbeda dengan wudhu, tayamum hanya boleh digunakan hanya untuk satu salat fardhu ‘ain saja. Yang artinya ketika seseorang bertayamum untuk salat dzuhur maka nanti ketika mau salat ashar dia wajib bertayammum lagi jika masih belum mendapatkan air. Akan tetapi jika dia berniat tayamum untuk salat fardhu maka boleh dia melakukan salat sunnah sebanyak apapun yang dia mau.

c. Tayammum tidak sah dilakukan sebelum masuk waktu salat

Karena sifatnya adalah sebagai thaharah pengganti atau thaharah darurat ketika tidak ada air, maka tayamum tidak sah dilakukan kecuali setelah waktu salat tiba. Karena kedaruratan tidak ada air baru terwujud ketika waktu salat telah tiba, sedangkan jika belum maka tidak ada kedaruratan tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan wudhu yang mana seseorang boleh saja berwudhu sebelum waktu salat tiba.

d. Tayamum tidak serta merta menggugurkan kewajiban salat

Para ulama syafi’iyyah membedakan kondisi orang yang tayammum menjadi dua keadaan, yaitu:

  • Tayamum di tempat yang biasanya (umumnya) tidak ada air, seperti di padang pasir, puncak gunung, dll
  • Tayammum di tempat yang biasanya ada air, seperti saat sedang tidak safar atau di pemukiman warga

Jika dia tayamum pada kondisi yang pertama, maka dia tidak wajib mengulangi (mengqodho) salatnya lagi saat nanti mendapati air. Artinya salatnya sudah dianggap cukup untuk menggugurkan kewajiban pada saat itu (suquutul qodho’). Sedangkan pada kondisi yang kedua ini dianggap uzur yang jarang (naadir) sehingga meskipun dia telah shalat dengan tayamum akan tetapi kewajiban mengqodho belum gugur atasnya. Artinya jika nanti dia mendapati air maka dia wajib mengulangi salatnya tersebut.

e. Tayammum tidak bisa menghilangkan najis

Media atau alat tayamum adalah debu yang suci sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْۗ

“Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu).” [QS. An-Nisa: 43]

Sedangkan najis hanya bisa dibersihkan dengan air, sehingga ketika seseorang terkena najis maka dia tidak bisa bertayamum untuk menghilangkannya.

f. Murtad bisa membatalkan tayammum

Salah satu pembatal tayamum adalah murtad (keluar dari Islam), yang mana hal ini tidak membatalkan wudhu.

Kenapa demikian? Karena wudhu adalah thaharah yang kuat dan mampu menghilangkan hadas, sedangkan tayamum adalah thaharah pengganti yang sifatnya lemah. Serta telah disebutkan sebelumnya bahwa tayammum itu hanya pembolehan untuk ibadah, sehingga tidak mungkin pembolehan tersebut diberikan kepada orang yang murtad.

g. Tidak boleh tayamum saat sedang bermaksiat

Tayamum adalah salah satu keringanan (rukhsoh) dari Allah ta’ala kepada hambanya yang beriman. Ini sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang Allah ta’ala kepada hambanya serta bukti mudahnya syariat Islam bagi para pemeluknya.

Akan tetapi kemudahan ini tidak boleh digunakan bagi orang yang bermaksiat karena ada kaidah fiqih yang berbunyi:

الرخص لا تناط بالمعاصي

“Rukhsoh tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan”

Tapi ulama menjelaskan bahwa ketidakbolehan ini khusus jika kondisinya tidak bisa menggunakan air secara syar’an dan bukan hissan. Karena jika secara hissan kondisinya betul-betul tidak ada air sehingga tidak disyaratkan untuk berhenti dari maksiat tersebut (bertobat) untuk kebolehan bertayammum.
Wallahu a’lam

M Riezky Pradana, Lc., MH

M Riezky Pradana, Lc., MH

Ahli Fikih dan Dosen

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini