Punya Ambisi, Boleh Nggak Sih?
NidaulQuran.id | Belakangan ini, acap kali kita mendengar istilah ‘ngambis’ didengungkan kalangan anak muda. Istilah gaul yang sedang populer ini sangat sering digunakan bahkan ramai menghiasi forum-forum percakapan di lingkungan siswa maupun mahasiswa. Baik itu chat pribadi, grup, atau bahkan obrolan langsung sehari-hari.
Kata ini menjadi istilah kekinian yang mengekspresikan kerja keras anak muda dalam meraih cita-citanya. Merekapun kerap memakai istilah ini dalam berbagai konteks, terutama pada hal-hal yang terkait dengan kegiatan belajar atau meraih cita-cita dengan sungguh-sungguh.
Kategorisasi ngambis juga beragam, ada ngambis pribadi dan ngambis bersama-sama atau ngambis bareng dalam istilah mereka. Orang bisa dikatakan ngambis misalnya ketika dia memilih duduk di depan guru di kelas, “Eh, ngambis ya sekarang pilih duduk di depan?”
Orang yang rajin sekali belajar dan menolak ajakan nongkrong atau main karena mau persiapan masuk perguruan tinggi atau sekolah favorit, juga bisa dikomentari sedang ngambis oleh temannya. Beberapa orang kadang juga merasa lebih termotivasi ketika ngambis bersama, misalnya dengan mengajak kawannya masuk sebuah grup di aplikasi telegram untuk belajar dan latihan soal online di sana. “Kuy ngambis bareng di tele, guys.”
Pengertian
Kata ngambis sebetulnya merujuk kepada istilah ambisius. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ambisius artinya berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan, cita-cita) atau penuh ambisi. Menilik dari arti di atas, sebetulnya ngambis atau ambisius memiliki makna yang positif. Apa yang salah dari berkeinginan keras terhadap cita-cita?
Namun, kita perlu menempatkan istilah ini secara tepat karena menjadi ambisius tidak selalu dimaknai baik. Apalagi banyak orang yang menyalahartikan ambisius sebagai upaya meraih cita-cita dengan menghalalkan segala cara.
Baca Juga: Melukis Kenangan
Berdasarkan pengalaman pribadi saya pada masa sekolah dulu, istilah ambisius digunakan untuk melabeli sebuah keinginan besar yang terlalu berlebihan mendekati kesan ‘serakah’ daripada sungguh-sungguh. Sedangkan nampaknya di masa kini, makna istilah ini bergeser, tidak selalu berstereotip negatif. Anak muda lebih mengartikannya sebagai giat dan totalitas dalam belajar.
Jadi, bagaimana kita menyikapi fenomena ngambis ini?
Memiliki ambisi tidak selalu buruk. Namun, kita harus melihat apakah ambisi kita masuk kategori ambisi sehat atau ambisi tidak sehat.
Ambisi Sehat
Memiliki ambisi bisa memberi kita keuntungan yakni memahami target yang akan kita raih. Apabila seseorang menjalani hidup hanya mengalir tanpa tujuan, maka akan tidak jelas peta hidupnya.
Ambisi dapat membantu kita mengembangkan diri dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar. Abraham Maslow, mengungkapkan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan aktualisasi diri.
Dalam sejarah Islam, tentu kita familiar dengan kisah hebat yang diceritakan Imam Adz Dzahabi. Dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala’, beliau menceritakan tentang empat orang pemuda yakni Abdullah bin Umar, ‘Urwah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair, dan Abdullah bin Zubair tatkala berkumpul di pelataran ka’bah.
Dalam majelis tersebut, keempat pemuda itu saling menceritakan impian masing-masing. Abdullah bin Zubair bercita-cita menjadi khalifah. ‘Urwah bin Zubair ingin menjadi ulama, tempat masyarakat mengambil ilmu. Mush’ab bin Zubair ingin menjadi pemimpin Iraq dan menikahi Aisyah binti Thalhah dan juga Sukainah binti Husain. Sedangkan Abdullah bin Umar mengungkapkan cita-cita tulus, ia ingin Allah mengampuninya.
Waktupun berlalu dan masyaAllah impian-impian besar mereka tersebut benar terwujud. Bermula dari obrolan ringan, dengan visi dan cita yang jelas, kemudian Allah mengabulkannya. Barangkali sewaktu memperbincangkan hal tersebut, cita-cita mereka masih terlihat begitu jauh. Katakanlah, mereka yang amat luar biasa itu harus bekerja keras memantaskan diri untuk meraihnya. Mereka adalah pemuda dengan tekad dan mental yang luar biasa.
Apa jadinya jika seorang Abdullah bin Zubair merasa insecure alias merasa minder hanya karena ia bukanlah dari kalangan keluarga istana, hingga membatalkan impiannya menjadi khalifah? Sungguh beliau tetap berani meraih cita-cita dan yakin sepenuhnya atas pertolongan Allah. Itulah kekuatan doa dan ambisi yang bukan hanya berorientasi pada dunia.
Ambisi Tidak Sehat
Di sisi lain, nyatanya ada jenis ambisi yang tidak sehat. Ngambis yang mengarahkan pelakunya kepada sifat serakah dan menghalalkan segala cara untuk mencapai impiannya.
Orang dengan ambisi tidak sehat bisa saja menabrak dan melanggar segala jalur agar keinginannya terwujud. Aturan-aturan agama tak jarang terlupa. Ia menjadi abai terhadap norma dan etika sosial, akibat yang ditimbulkan serta kerugianpun akhirnya dirasakan oleh pihak lain.
Baca Juga: The Power of Habitus
Orang-orang yang ngambis secara serampangan seperti ini, ia juga bisa zalim terhadap dirinya sendiri. Ia bisa memaksa diri sampai di titik limit hingga tidak memedulikan hak-hak jasmani dan rohaninya. Karena sekeras-kerasnya berjuang, badan juga tetap perlu makan, istirahat, jaga fisik supaya fit, pikiran berhak tenang, dan lain-lain.
Ada beberapa faktor seseorang ambisius secara tidak sehat, misalnya karena ingin memiliki pencapaian sebagaimana yang ia lihat di media sosial. Bisa pula disebabkan tekanan karena komparasi alias membandingkan diri dengan kesuksesan teman atau anggota keluarga yang lain. Bisa juga didorong oleh keinginan aktualisasi diri yang keliru, ketika ia ingin dilihat, diakui, mendapat posisi, namun dengan cara yang kurang tepat.
Apabila sampai pada tahap ekstrim, orang yang punya ambisi tidak sehat bisa mengalami gangguan kesehatan fisik maupun mental. Misalnya terkena penyakit akibat terlalu keras bekerja dengan tidak seimbang, atau depresi karena tidak berhasil meraih kampus atau capaian akademik yang diinginkan.
Ambisi Dunia VS Akhirat
Dengan demikian, penting bagi kita untuk meletakkan ambisi pada tempatnya. Sebagai muslim, kita tentu punya batasan dalam beraksi. Boleh berlari meraih mimpi, namun pastikan jangan sampai bertentangan dengan akidah Islam. Jangan sampai menggadaikan prinsip-prinsip hidup yang mahal hanya demi harta, pengakuan, jabatan, maupun kedudukan.
Seorang muslim harus memiliki ambisi akhirat yang melampaui ambisi keduniawian. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan ambisinya semata-mata untuk meraih akhirat, maka Allah akan mencukupi kebutuhan dunianya. Namun, barangsiapa yang berambisi meraih dunianya bermacam-macam, Allah tak akan peduli dengan yang ia inginkan. Orang itu justru akan menemui kehancurannya sendiri.” Oleh karena itu, jangan sampai kita rakus dan terlena dengan pencapaian dunia.
Menjadi pemuda muslim memang mesti cerdas, berilmu, dan punya visi tinggi. Namun, di atas itu semua keyakinan akan doa dan tawakal kepada Allah harus menancap dalam di hati. Niatkan bahwa kita ngambis belajar, bekerja, sekolah, kuliah bukan hanya untuk manfaat hari ini tapi sampai akhirat nanti. Bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk kemuliaan umat ini. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Redaktur: Lutfi Nur Azizah