Santri Sejati Ikuti Jejak Nabi

Source: Media Ibnu Abbas Klaten
من أطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد أبى
“Barang siapa yang menaatiku pasti masuk surga dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” (HR. al-Bukhari, no. 7280)
Pada 22 Oktober 2021 lalu, kita telah memperingati Hari Santri Nasional (HSN). Ini tahun ke-7 masyarakat Indonesia khususnya umat muslim merayakan HSN, semenjak ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 22/2015. Peringatan tersebut sebagai bentuk menjaga ingatan sejarah kita atas perjuangan santri di masa lalu dalam kemerdekaan Indonesia.
Menjadi santri identik dengan ilmu agama, kitab, adab, ustaz-ustazah, dan sebagainya. Mereka harus mampu mengikuti jejak Rasulullah Saw. agar menjadi santri yang sejati. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menjadi santri sejati, di antaranya:
Semangat dalam menuntut ilmu.
Santri merupakan seorang pembelajar yang semangat dalam menuntut ilmu. Dari ilmu tersebut akan membentuk lurusnya sikap dan terdidiknya jiwa seseorang.
Menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban yang tidak lepas dari kehidupan seorang santri, bahkan dia harus bersemangat dalam menempuhnya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw., dari riwayat Abu Hurairah: “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah (patah semangat).” (HR. Muslim, No. 2664)
Seorang santri ialah pejuang yang mampu meninggalkan nikmatnya tidur di saat orang lain nyaman di atas kasurnya, serta melawan rasa kantuk dan malas demi menghafal kalam-Nya. Mereka merantau jauh demi pendidikannya, bahkan menahan kerinduan dari sanak keluarga. Para penuntut ilmu meninggalkan berbagai kenikmatan dan lebih mengutamakan perkara yang lebih bermanfaat.
Baca juga: Punya Ambisi, Boleh Nggak Sih?
Keteladanan dalam amar makruf nahi mungkar.
Kehidupan seorang santri itu proaktif dan menjadi teladan bagi masyarakat dalam amar makruf nahi mungkar. Perhatikan masyarakat yang ada di sekeliling, bukankah maksiat sudah menyebar luas di masyarakat Islam saat ini? Mereka meremehkan sholat, mengikuti hawa nafsu, menahan zakat, dan bermuamalah dengan riba secara terang-terangan. Padahal, meninggalkan amar makruf nahi mungkar merupakan sebab datangnya hukuman di dunia sebelum akhirat. Jika kita tidak menegakkan kedua hal tersebut, maka kemungkaran itu semakin merajalela.
Menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak mulia.
Santri adalah mereka yang mengamalkan ilmunya dengan menerapkan akhlak yang mulia, baik terhadap dirinya maupun orang lain. Di antara akhlak-akhlak yang harus dimiliki seorang santri adalah:
Pertama, niat ikhlas menuntut ilmu karena Allah semata.
Kedua, mendengarkan baik-baik apa yang disampaikan ustaz-ustazah. Seseorang yang menuntut ilmu hendaklah dia lebih pandai mendengar daripada berbicara atau berkomentar. Betapa banyak orang yang mengaku penuntut ilmu tapi lebih banyak berbicara dan berkomentar dibandingkan dia mendengar ilmu. Maka akibatnya dia tidak memiliki adab terhadap ulama yang tidak satu pendapat dengannya.
Baca Juga: Melukis Kenangan
Berkata ‘Atha’ rahimahullahu ta’ala: “Sungguh ada seorang pemuda sedang menyampaikan satu hadis, maka saya menyimaknya seolah-olah saya belum pernah mendengar hadis tersebut, padahal saya telah mendengarnya sebelum dia dilahirkan.” (al-Jami al-Rawi wa Adab al-sami’ karya al-Hafiz al- khatib al-Baghdadi)
Ketiga, diam ketika pelajaran disampaikan. Ketika belajar mengkaji ilmu tidak berbicara yang tidak bermanfaat tanpa adanya keperluan. Sebagaimana firman Allah: “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-A’raaf: 204).
Keempat, mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajari. Amalkanlah ilmu, bukankah dengan ilmu membuatmu semakin merunduk? Jika mempelajari ilmu tidak untuk diamalkan, niscaya akan membuatmu semakin sombong. Sebagaimana Malik bin Dinar berkata, “Jika seorang hamba mempelajari suatu ilmu dengan tujuan untuk diamalkan, maka ilmu itu akan membuatnya semakin merunduk. Namun jika seseorang mempelajari ilmu bukan untuk diamalkan, maka hanya akan membuatnya semakin sombong (berbangga diri).” (Hilyatul Auliya’ 2: 372).
Seseorang yang memiliki ilmu dan mengajarkannya, maka akan mendapatkan pahala atas ilmu yang telah diajarkannya selama ilmu itu diamalkan, meskipun dia telah meninggal dunia. Sebagaimana dalam hadis dikatakan, “Jika seorang anak adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali 3 hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Wallahua’lam []
Redaktur: Ni’mah Maimunah