Menanamkan Tauhid adalah yang Pertama dan Utama

 Menanamkan Tauhid adalah yang Pertama dan Utama

Source: rawpixel.com

قال الله تعالى: وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi wejangan kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS. Luqmân: 13).

Salah satu tokoh ayah inspiratif yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah Luqmân Al-Hakîm. Bahkan namanya secara khusus dijadikan nama sebuah surah dalam Al-Qur’an. Padahal menurut mayoritas Ulama, ia bukan termasuk Nabi dan Rasul. Tentu ini mendorong kita untuk mengkaji lebih dalam profilnya dan pesan-pesannya.

Sang ayah yang bijak itu, mempunyai beberapa wejangan untuk anaknya yang dicatat oleh Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir, “Wejangan-wejangan dari Luqman yang penuh manfaat ini telah Alloh Ta’ala kisahkan untuk diteladani dan dipraktekkan oleh manusia” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/445).

Baca juga: Mendidik Anak-Anak Cahaya

Wejangan pertama yang keluar dari lisannya untuk sang buah hati adalah penanaman Tauhid (pengesaan Allah). Hal tersebut sebagai pondasi utama yang akan menentukan kuatnya bangunan keagamaan seorang anak ketika tumbuh nanti.

Tauhid juga kunci utama kebahagiaan dan keselamatan sang anak, terutama nanti di alam akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, “Orang yang meninggal dalam keadaan tidak mensyirikkan Allah dengan apapun pasti masuk surga, dan orang yang meninggal dalam keadaan mensyirikkan Allah dengan sesuatu pasti masuk neraka” (HR. Muslim).

Yang menarik dari ayat di atas adalah cara Luqman menanamkan Tauhid pada diri anaknya. Kalimat “Li ibnihi” (kepada anaknya), ini menyiratkan kedekatan hubungan antara seorang ayah dan anak. Kedekatan tersebut merupakan kunci utama untuk diterimanya sebuah nasihat. Akan berbeda hasilnya jika di antara keduanya ada jarak yang menjadi sekat.

Kalimat “Wahuwa ya’izhuhû” (saat ia memberi wejangan kepadanya), menunjukkan bahwa Luqman menerapkan Uslûb Al-Mau’idzoh (metode wejangan). Ciri utama dari metode ini adalah menasihati dengan cara yang halus.

Panggilan sayang “Yâ Bunayya” (Wahai anakku), adalah bentuk pengamalan dari Uslûb Al-Mulâthofah (metode berlemah-lembut). Hal ini selain sebagai tanda cinta, juga merupakan bentuk komunikasi efektif karena pada umumnya otak manusia akan lebih mudah menerima sesuatu yang positif.

Padahal telah diriwayatkan bahwa anak Luqman tersebut saat itu belum beriman. Seperti disebutkan oleh Al-Qusyairi, “Dahulu anak dan istri Luqman adalah kafir, maka ia terus-menerus memberi wejangan kepada keduanya sampai mereka beriman” (Fathul Qadîr: 4/237).

Kalimat “Lâ tusyrik billâh” (Jangan menyekutukan Allah) adalah salah satu metode utama penanaman Tauhîd. Ini mirip dengan kalimat Tauhid “Lâ ilâha illallah” (tiada yang berhak disembah selain Allah), yang merupakan Uslûb An-Nafyi lil Itsbât (metode meniadakan sesuatu untuk menetapkan sesuatu).

Ini berbeda dengan sebuah teori pendidikan anak yang melarang secara mutlak penggunaan kata-kata “tidak” atau “jangan”. Bahwa kalimat yang bersifat larangan bisa digunakan dalam kondisi dan tema prinsipil tertentu. Terutama untuk anak usia Tamyîz (sudah bisa berlogika), agar mereka tidak tumbuh dalam budaya permisif (serba boleh).

Baca juga: Pendidikan yang Memanusiakan

Kalimat “Innas syirka lazhulmun ‘azhîm” (sesungguhnya meyekutukan Allah adalah sebuah kezaliman yang besar), ini merupakan bentuk rasionalisasi dari sebuah larangan. Kemudian mengaitkannya dengan sesuatu yang universal dan mudah diterima oleh akal atau perasaan manusia.

Hal tersebut juga memberi pelajaran bahwa dalam melarang atau memerintah anak melakukan sesuatu. Meski mereka kita anggap masih kecil dan di bawah kendali kita, tetap harus dengan argumen yang bisa diterima akal mereka. Ini adalah pengamalan Uslûb Al-Iqnâ’ Al-Fikry (metode meyakinkan secara logika) yang sangat bagus untuk merangsang daya kritis dan membiasakan anak berpikir mendalam.

Demikian sedikit kupasan atas ayat di atas. Tentu hal tersebut hanya salah satu contoh dari penanaman Tauhid pada anak. Banyak konten lain yang penting harus disampaikan dan mencakup penjabaran tentang macam-macam Tauhid (Ulûhiyyah, Rubûbiyyah dan Asmaa’ wa Shifât).

Selain itu, banyak juga metode lain yang bisa digunakan seperti dengan: Uslûb Al-Qudwah (keteladanan), Uslûb Al-Qisshoh (berkisah), Uslûb Dhorbul Amtsâl (permisalan), dan Uslûb Tarbiyah bil Ahdâts (mengupas kejadian di sekitar). Hal ini tentu disesuaikan dengan perbedaan karakter dan tahap kembang anak.

Sekali lagi, penanaman Tauhîd pada anak adalah yang pertama dan utama. Ini adalah amanah besar bagi orang tua dan para pendidik untuk menunaikannya. Jangan sampai mereka tumbuh dewasa, sekolah bertahun-tahun lamanya, mempelajari berbagai ilmu yang ada, namun belum bisa mengesakan dan mengenal dengan baik Rabb mereka.[]

Redaktur: Riki Purnomo

Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.

Pakar Pendidikan Islam | Alumni Universitas Islam Madinah | Direktur PPTQ Ibnu Abbas

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini