Cegah Darurat Moral, Dewan Dakwah Kirim Ratusan Guru Ngaji ke Pelosok Negeri
Menempatkan Riset Poligami
Nidaul Quran | Di perguruan tinggi, riset atau penelitian menjadi ruh pendidikan. Tradisi ini terus dipertahankan dan dikembangkan. Tidak hanya dunia kampus yang menggunakannya, ada banyak kalangan yang sama-sama memanfaatkannya. Dalam teori pengetahuan, riset menjadi satu dari sekian cara manusia memperoleh pengetahuan. Terlepas pengetahuan seperti apa yang diperoleh. Bisa pengetahuan benar bisa juga sebaliknya, tergantung bagaimana riset disiapkan.
Salah satu ciri penelitian terletak pada sisi maudhu’i, yaitu memfokuskan perhatian pada satu objek. Konon semakin tajam fokus penelitian maka akan semakin baik, karena data semakin tebal dan padat. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi generalisasi atau pukul rata terhadap kasus lain di tengah keterbatasan data. Karena itu selalu ada studi kasus dalam sebuah riset. Salah satu tema riset yang cukup ramai di permukaan adalah riset tentang poligami serta dampaknya terhadap ketahanan keluarga.
Beberapa penelitian mengarah pada kesimpulan bahwa poligami menjadi penyebab keruntuhan keluarga. Hasil penelitian ini selanjutnya dijadikan acuan untuk meninjau ulang sejumlah aturan poligami, bukan hanya aturan negara tetapi aturan agama pun kembali dipertanyakan. Hingga muncul ungkapan-ungkapan miring terhadap poligami seperti; poligami biang keretakan keluarga, pastikan mereka yang mengatakan poligami bahagia itu bohong, dan yang selalu jadi korban poligami adalah perempuan.
Baca juga: Peran Perempuan dalam Pembangunan Masyarakat
Berdasar fakta-fakta tersebut, aturan negara tentang poligami dianggap harus dihapuskan dan dalam ranah keagamaan diperlukan penafsiran ulang. Riset akhirnya menjadi semacam kebenaran baru yang bisa merubah banyak hal, merubah tatanan sosial sampai merupah tafsiran agama yang sudah mapan (tsawabit). Takaran kebenaran pun ikut tergeser, otoritas tafsir yang semula hanya di tangan ulama bergeser kepada para peneliti.
Bagi yang mempelajari metodologi penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif, hal-hal seperti di atas mestinya tidak sampai terjadi. Dari awal riset tidak disiapkan untuk itu. Penelitian memang banyak membawa manfaat, memudahkan kegiatan manusia, namun juga memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan. Penelitian dengan cara kerja induksi, data yang diperoleh dibatasi oleh tempat dan waktu. Selain itu, tidak semua data diserap. Dalam terminologi Islam biasa disebut istiqro naqish.
Belum lagi kalau menghitung faktor subjektivitas peneliti. Peneliti adalah manusia, yang punya cakrawala makna sendiri, yang tidak bisa dilepaskan saat mengerjakan penelitian. Sangat sulit diterima jika produk riset dikatakan sebagai kebenaran universal di tengah keterbatasan data, subjektivitas peneliti, belum lagi pengaruh konteks. Kalau pun hasil penelitian mengandung kebenaran, maka kebenaran yang terbatasi oleh ruang dan waktu, bukan kebenaran universal. Karena itu, menggunakan hasil riset untuk mengubah aksioma hukum Islam adalah tindakan yang kelewat berani, untuk tidak dikatakan nekat.
Fakta keluarga yang berantakan setelah berpoligami, harusnya tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah poligami. Bisa jadi karena faktor lain yang belum atau tidak diungkap, ada banyak variabel di sana. Sangat mungkin penyebabnya faktor laki-laki yang memang tidak layak berpoligami, sebagaimana sering terjadi pada monogami. Karena kalau mau melihat kasus lain, tidak sedikit mereka yang berpoligami mendapatkan kebahagiaan.
Baca juga: Mengurai Istilah ‘Sunnah Poligami’
Sebaliknya, banyak yang monogami berakhir dengan perceraian, dan yang lebih tragis lagi berakhir dengan pembunuhan. Lantas apakah monogami pun mesti dihapus dan ditafsir ulang? Apakah data-data ini akan terus kita pendam sambil memejamkan mata, dan keukeuh dengan kesimpulan riset?
Meski demikian, hasil-hasil riset ini tidak lantas kita pinggirkan, ada informasi penting yang bisa dimanfaatkan. Kita bisa gunakan untuk memperbaiki praktik-praktik poligami yang keliru. Bukan untuk mengubah ketetapan syariat yang sudah ada.
Islam membolehkan poligami bukan berarti membenarkan praktik poligami yang salah, yang berakhir dengan derita. Sama sekali tidak dibenarkan. Karenanya hukum poligami tidak tunggal. Kebenaran hakiki hanya dari Allah dan Rasul-Nya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui para ulama hingga sampai kepada kita.
Kesimpulan riset kita kembalikan kepada prinsip awalnya. Kita tempatkan pada kasusnya yang spesifik, tidak digiring keluar dari tempat asalnya, jika tidak ingin dikatakan “berbohong dengan riset”. Wallohu a’lam
Redaktur: Ni’mah Maimunah