Pernikahan dalam Perspektif Fiqih: Analisis terhadap Syarat dan Rukun Nikah

 Pernikahan dalam Perspektif Fiqih: Analisis terhadap Syarat dan Rukun Nikah

pernikahan sejati

nidaulquran.id-Pernikahan dalam perspektif Islam tidak sekadar ikatan suci antara dua insan, melainkan juga sebagai sarana untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Fiqih pernikahan sebagai bagian dari syariat Islam memberikan pedoman jelas tentang tata cara, syarat, dan rukun pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan tersebut sah secara agama. Namun lebih dari itu, fiqih pernikahan juga mengajarkan nilai-nilai moral dan spiritual yang harus menjadi landasan dalam membangun rumah tangga.

1. Pengertian dan Tujuan Pernikahan dalam Fiqih

Secara bahasa nikah bermakna menyatu atau berkumpul. Sedangkan secara istilah, nikah didefinisikan sebagai akad yang berkonsekuensi menghalalkan pihak laki-laki untuk bersenang-senang dengan wanita (ibahatul istimta’) dengan lafaz khusus. Artinya kesenangan yang awalnya haram untuk dilakukan kepada seorang wanita menjadi halal karena sebab akad nikah. Pernikahan memiliki banyak hikmah dan tujuan, diantaranya adalah untuk menyalurkan nafsu syahwat pada jalan yang benar, usaha untuk mendapatkan keturunan yang baik dan mewujudkan ketenangan hati, serta menjaga manusia dari kehancuran akhlak dan penyakit berbahaya. Selain itu, pernikahan juga bisa menjadi sarana utama membentuk peradaban Islami dengan menjadikan rumah tangga sebagai madrasah pertama dalam mendidik manusia.

Rasulullah SAW bersabda:

النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah)

Dari hadits ini, dapat dipahami bahwa pernikahan bukan sekadar untuk memenuhi hasrat biologis, melainkan juga untuk membangun hubungan yang penuh kasih sayang dan saling mendukung agar bisa melahirkan generasi penerus yang dibanggakan rasulullah.

2. Syarat dan Rukun Pernikahan

Dalam fiqih, ada lima rukun yang harus dipenuhi dalam akad nikah. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka akad nikahnya tidak sah. Lima rukun tersebut adalah sebagi berikut:

  1. Calon suami, syaratnya adalah: laki-laki, tidak sedang ihram, sukarela (tidak dipaksa), dan tidak ada hubungan mahram dengan calon istri.
  2. Calon istri, syaratnya adalah: wanita, tidak sedang ihram, tidak ada hubungan mahram dengan calon suami, dan  tidak sedang dalam ikatan pernikahan atau masa iddah.
  3. Wali, syaratnya adalah: beragama Islam, laki-laki, mukallaf, merdeka, tidak fasiq, sukarela dan tidak sedang ihram.
  4. Saksi, syaratnya: beragama Islam, dua orang laki-laki, mukallaf, merdeka,’adalah, tidak buta dan tuli serta mengerti bahasa akad nikah.
  5. Sighoh, syaratnya: harus menggunakan lafaz nikah atau zawaj (aku nikahkan atau aku kawinkan).

Bagaimana dengan mahar? Apakah termasuk salah satu rukun nikah?

Mahar bukanlah salah satu rukun nikah. Sehingga saat akad suami tidak menyebutkan jumlah mahar maka akad nikahnya tetap sah, akan tetapi suami tetap wajib membayarkan mahar mitsl, yakni mahar yang sesuai dengan kualitas calon istri dari sisi nasab, status sosial dan kesalihannya. Artinya mahar tidak gugur meskipun tidak disebutkan dalam akad nikah, karena mahar adalah ‘iwadh yang harus diberikan suami untuk menghalalkan kemaluan istrinya.

3. Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Dalam fiqih, suami atau istri memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dalam membangun rumah tangga. Suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok istri, seperti makanan, pakaian, alat-alat kebersihan (sabun, sampo dan skincare), tempat tinggal, dan mempergauli istri dengan baik (mu’asyaroh bil ma’ruf) serta ikut membantu istri dalam mendidik anak.

Allah ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan pergaulilah istri-istri mu sekalian dengan baik”. (QS. An-Nisa ayat 19)

Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman:

وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ 

“Ibu-ibu hendak menyusui anaknya dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah adalah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut”. (QS. Al-Baqarah ayat 233)

Tugas sebagai Istri memiliki tanggung jawab untuk mengelola rumah tangga, mentaati suami dalam hal yang ma’ruf (bukan maksiat), menjaga kehormatan diri dan suami, melayani suami, serta menjadi madrasah pertama bagi anak-anak.

Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا صَلَّتِ اْلمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ

“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat terhadap suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.” (HR. Ahmad)

Jika salah satu pihak tidak mau melakukan kewajiban mereka maka bisa disebut sebagai nusyuz. Istri dikatakan nusyuz jika tidak taat pada suaminya, tidak bersyukur atas kerja keras suami, atau bahkan selingkuh dengan pria lain -wal’iyadz billah-. Sedangkan suami juga dikatakan nusyuz jika tidak mau menafkahi istri, melakukan perbuatan KDRT, serta selingkuh dengan wanita lain -wal’iyadz billah-.

Sehingga pasangan suami istri harus berupaya saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing agar terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, serta tentu saja patuh terhadap aturan syariat dalam membangun rumah tangga. Karena kebahagiaan dunia akhirat tidak lain dengan patuh dan taat terhadap aturan syariat.

4. Pernikahan sebagai Sarana Membentuk Masyarakat

Pernikahan dalam perspektif fiqih tidak hanya mengatur hubungan suami-istri, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Dengan pernikahan, seseorang menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas, sehingga pernikahan harus dibangun atas dasar kejujuran, amanah, dan tanggung jawab. Diantara hikmah syariat nikah yang disebutkan para ulama adalah menjaga manusia dari kehancuran akhlak, sehingga dengan pernikahan diharapkan akan tercipta individu-individu yang berkualitas dalam moral guna menciptakan masyarakat madani. Masyarakat yang baik dimulai dari keluarga yang baik.

Dalam masyarakat Islam, pernikahan juga menjadi sarana untuk mempereratkan hubungan antar-keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pernikahan harus diiringi dengan akad yang transparan, tanpa paksaan, dan dengan mempertimbangkan kompatibilitas antara kedua belah pihak.

5. Tantangan Kontemporer dalam Pernikahan

Di era modern, pernikahan menghadapi tantangan yang lebih kompleks, seperti perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Banyak pasangan muda yang menghadapi kesulitan dalam memenuhi syarat pernikahan, seperti biaya pernikahan yang tinggi atau perbedaan latar belakang sosial. Namun, fiqih pernikahan memberikan solusi dengan menekankan bahwa pernikahan yang sederhana dan sesuai syariat lebih baik daripada pernikahan yang mewah tetapi tidak memenuhi syarat agama. Syariat Islam memudahkan bagi pihak suami untuk membayar mahar dari sisi kadarnya. Tidak ada batasan minimal dan maksimal mahar yang diberikan. Akan tetapi syariat menganjurkan kepada pihak wanita untuk meringankan mahar agar sesuai dengan kemampuan finansial calon suami. Semua ini bertujuan memudahkan kaum muslimin untuk menikah agar bisa terhindar dari godaan syahwat. Dalam fiqih juga dianjurkan agar pasangan suami istri itu sekufu yang mana ini berperan penting dalam menjaga keutuhan rumah tangga.

Selain itu, fiqih juga memberikan pedoman tentang bagaimana cara menyelesaikan konflik dalam rumah tangga, seperti dengan musyawarah dan meminta bantuan dari orang-orang yang bijak. Dalam mazhab syafi’i sendiri dijelaskan jika terjadi nusyuz oleh istri maka ada dua keadaan, yakni:

  1. jika nusyuz istri baru sekedar dugaan, maka suami hanya boleh menasehatinya dengan nasehat yang baik
  2. jika nusyuz istri sudah terbukti atau benar-benar terjadi, maka suami diberikan tiga pilihan untuk mengatasinya, yaitu menasehati, memukul atau menghajr (boikot) nya.

Untuk memukul sendiri ulama syafi’iyyah memberikan syarat-syarat ketat terkait pelaksanaannya, diantaranya tidak boleh memukul area muka, area vital, pukulan yang berbekas dan menggunakan benda-benda lunak seperti kertas, tisu atau peci. Intinya pukulan yang dimaksud adalah untuk mendidik istri dan bukan untuk menyiksanya. Sebuah dosa dan kebodohan jika suami sampai tega melakukan KDRT kepada istrinya, bahkan ini bisa masuk kategori tindakan kriminal dalam Islam.

6. Kesimpulan

Refleksi fiqih pernikahan mengajarkan kita bahwa pernikahan bukan sekadar upacara ritual, melainkan juga sebagai sarana untuk membangun kehidupan yang lebih baik serta mencetak generasi penerus dakwah Islam. Dengan memahami dan mempraktekan syariat Islam dalam pernikahan, kita dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah, sehingga menjadi teladan bagi masyarakat luas.

M Riezky Pradana, Lc., MH

M Riezky Pradana, Lc., MH

Ahli Fikih dan Dosen

Klik
Konsultasi Syari'ah
Assalamualaikum, ingin konsultasi syariah di sini? Klik bawah ini